Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mencatat, pengentasan kawasan kumuh hingga saat ini masih jauh dari target. Sejak 2015 hingga 2016, kawasan kumuh yang ditangani baru mencapai 6.763 hektare dan diperkirakan hanya akan mencapai 9.974 hektare pada 2019 mendatang.
Padahal, pemerintah menargetkan dapat mengentaskan kawasan kumuh seluas 38.431 hektare hingga 2019.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menjelaskan, pelaksanaan pengentasan wilayah kumuh dilakukan pihaknya melalui Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di 269 Kabupaten/Kota dengan pendanaan PLN (World Bank dan Islamic Development Bank), APBN, APBD, dan pelibatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia mengaku, pengentasan kawasan kumuh menjadi salah satu dari target Kementerian PUPR yang kemungkinan belum bisa tercapai pada 2019. Kendati demikian, menurut dia, beberapa kota, seperti Jogjakarta, Surabaya, Balikpapan, Pontianak dan Semarang terlihat signifikan perubahannya.
"Memang tidak mudah untuk menangani permasalahan kawasan kumuh perkotaan, karena tidak hanya masalah ke-Cipta Karya-an, tetapi perbaikan kawasan juga harus diikuti dengan penyediaan rumah bagi masyarakat miskin berpenghasilan rendah," ujar Basuki dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (31/10).
Ia mencontohkan, perbaikan teknologi rumah apung yang dilakukan pihaknya di Kampung Nelayan Tambak Lorong, Semarang. Selain itu, dalam rangka mengurangi kekumuhan, pihaknya juga menormalisasi Banjir Kanal Timur Semarang, mengadakan perbaikan drainase, dan sanitasi sehingga kawasan kumuh berubah menjadi lebih layak huni.
Permasalahan pemukiman kumuh di perkotaan, menurut Basuki, antara lain timbul akibat tak adanya perencanaan yang baik untuk menghadapi tingkat urbanisasi masyarakat yang tinggi sehingga mengakibatkan pelayanan prasarana dan sarana masyarakat tidak seimbang dengan jumlah penduduk.
Untuk itu, menurut dia, tantangan urbanisasi perlu dijawab dengan memiliki rencana tata kota dan program pembiayaan perkotaan yang baik. Pemerintah pun perlu terus mengikuti perkembangan teknologi dan budaya.
Ia mencontohkan, jika dahulu budaya belanja masyarakat melalui toko-toko di supermarket, tetapi sekarang telah bergeser menjadi budaya belanja online. Untuk itu, menurut dia, ke depannya, urbanisasi perlu kita jawab dengan tepat dan bijak.
“Misal, apakah rencana tata kota masih membutuhkan pembangunan supermarket besar,” terangnya.