Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan, maraknya penutupan gerai ritel memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tersebut, yang jumlahnya besar.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, pergeseran pola konsumsi dan minimnya insentif dari pemerintah menjadi beberapa alasan gerai ritel gulung tikar. Ia menaksir, jumlah pekerja yang terkena PHK menembus angka 1.000 orang.
"Kisarannya 1.200-an orang sudah kena PHK di industri ritel. Dari penutupan gerai Sevel (7-Eleven) saja, sudah sekitar 800 pekerja. Masih ditambah dari ritel lainnya," ungkapnya
CNNIndonesia.com, Senin (30/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, Aprindo tidak memiliki kebijakan khusus soal PHK. Menurutnya, semua aturan PHK sudah jelas mengikuti Undang-undang Ketenagakerjaan. Namun, Roy menyatakan kondisi ini seharusnya sudah menjadi '
alarm' untuk pemerintah.
"Kami
alert ke pemerintah bahwa bisnis ritel ini menyerap 4 juta tenaga kerja, bahkan kalau total hulu ke hilir bisa 14 juta tenaga kerja. Ini menempati porsi kedua dari jumlah tenaga kerja setelah agribisnis," kata Roy.
Yang mengkhawatirkan, lanjut Roy, adalah perpindahan para eks pekerja ritel ke sektor yang informal. Ia menjelaskan, kenaikan pekerja informal bisa membuat konsumsi lebih rendah.
"Nanti bisa jadi
informal worker dan membuat konsumsi lebih rendah. Alasannya,
informal worker yang penting makan dan minum, daripada belanja sekunder," jelasnya.
 Gerai Lotus di Thamrin, Jakarta Pusat yang telah ditutup. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Bahkan, Roy menyatakan dalam kondisi ekonomi terburuk, pergeseran eks pekerja ritel ke sektor informal bisa sampai 50 persen dari 4 juta pekerja di bagian hilir.
"Ketika menjadi pekerja informal, mereka tidak punya pendapatan tetap. Hanya dapat komisi atau UMP [Upah Minimum Provinsi]. Lalu bagaimana mereka mau berbelanja? Kalau konsumsi kebutuhan dasar pasti. Kalau belanja?" katanya.
Isu pelemahan industri ritel sudah terendus sejak awal tahun ini. Beberapa perusahaan menutup beberapa gerainya yang dinilai tidak memberikan keuntungan terhadap kinerja secara konsolidasian.
Misalnya saja, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang baru menutup dua gerainya di kawasan Blok M dan Manggarai. Kemudian, diikuti penutupan gerai Lotus dan Debenhams oleh PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).
Kedua manajemen ini kompak beralasan penutupan gerai dilakukan karena gerai tersebut tidak menghasilkan pendapatan sesuai target perusahaan. Dengan kata lain, keputusan itu juga bisa dikatakan sebagai efisiensi perusahaan.
Yang paling besar belum lama ini, PT Modern Internasional Tbk telah menutup semua gerai 7-Eleven di bawah pengelolaannya pada 30 Juni 2017 karena kurangnya sumber daya untuk mendanai operasional tokonya.
Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016, meninggalkan perusahaan dengan 161 toko. Pada 2015, Modern Internasional memiliki lebih dari 185 gerai 7-Eleven.