Nusa Dua, CNN Indonesia -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksi, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) internasional akan berada di kisaran US$710-US$720 per ton pada 2018 di bursa CIF Rotterdam.
Proyeksi ini tumbuh lebih tinggi dibandingkan ramalan harga rerata CPO untuk sepanjang tahun ini sebesar US$680-US$690 per ton. Namun, hanya naik tipis dari rerata harga CPO sampai awal November 2017 sebesar US$716 per ton dan capaian harga rata-rata CPO pada 2016 sebesar US$700 per ton.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi proyeksi harga tersebut. Pertama, pengaruh melambatnya pertumbuhan produksi dari negara produsen utama CPO, yaitu Indonesia dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara keseluruhan, kami mengestimasi bahwa produksi di Indonesia akan melambat hanya sekitar 3 persen per tahun untuk kurun waktu 2015-2020," ujar Fadhil di perhelatan 13th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2018 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Jumat (3/11).
Fadhil mengatakan, hal ini karena kebijakan peremajaan perkebunan (replanting) kelapa sawit bagi petani kecil yang digagas oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menunda atau melakukan mandatori terhadap penggunaan biodiesel dengan kadar 20 persen (B20).
"Adapula kebijakan yang dibuat pemerintah mengenai moratorium izin pembukaan lahan perkebunan baru. Ini berhasil memperlambat pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, sehingga memelankan laju produksi," terangnya.
Perlambatan produksi tercermin dari angka produksi CPO yang diperkirakan hanya finis di angka 36,5 juta ton dan penjualan benih yang menurun ke angka 72 juta benih pada tahun ini. Padahal, pada 2012 lalu, penjualan menembus angka 171 juta benih.
Begitu pula dengan produksi di Malaysia, yang menurut Fadhil, pertumbuhan produksi CPO sesama negara produsen terbesar itu hanya tumbuh angka 0,7 persen pada tahun depan.
"Beberapa hal yang mempengaruhi produksi Malaysia antara lain program replanting, kurangnya tenaga kerja, hingga fakta bahwa ketersediaan lahan juga sangat terbatas," katanya.
Faktor kedua, dari sisi konsumsi diperkirakan akan tetap meningkat. Pasalnya, ada pertambahan populasi penduduk di seluruh belahan dunia, peningkatan besaran pendapatan masyarakat, meningkatnya daya saing, hingga penggunaan biofuel yang turut terkerek.
"Konsumsi negara-negara seperti India dan China yang menjadi konsumen terbesar dan tujuan ekspor diperkirakan akan meningkat. Bahkan, Indonesia saat ini tak hanya sebagai produsen dan eksportir terbesar, namun juga konsumen terbesar," jelasnya.
Ketiga, ada pengaruh dari pergerakan harga sesama minyak nabati lain, seperti minyak kedelai (soybean oil), minyak bunga matahari (sunflower oil), minyak rapeseed (rapeseed oil), dan lainnya. Bahkan, menurutnya, harga CPO juga akan dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia.
Keempat, harga CPO turut dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan kebijakan dari negara-negara tujuan ekspor, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
"Kami harap harga CPO pada 2018 bisa lebih stabil dan mencapai rata-rata US$710-US$720 per ton, dengan ekspor dan konsumsi domestik yang turut meningkat," pungkasnya.
(gir)