Surabaya, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) memastikan posisi cadangan devisa (Cadev) hingga bulan lalu masih cukup kuat untuk mengantisipasi risiko pembalikan modal di masa mendatang.
Sebelumnya, BI melansir posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober 2017 menurun dari US$129,4 miliar menjadi US$126,5 miliar, seiring upaya BI menstabilkan nilai tukar rupiah di pasar.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, berdasarkan indikator Dana Moneter Internasional untuk kecukupan cadangan aset (adequacy of reserve asset), jumlah Cadev Oktober mencapai hampir 127 persen terhadap elemen-elemen besarnya pembalikan modal. Padahal, angka kecukupannya hanya 100 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indonesia sudah punya (angka kecukupan cadangan) 126 persen atau hampir 127 persen. Jadi, Indonesia sudah lebih dari cukup," tutur Perry di sela gelaran Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-4 di Surabaya, Selasa (8/11).
Selain itu, Cadev bulan lalu juga cukup untuk membiayai 8,6 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Besaran cadangan devisa tersebut juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Perry mengungkapkan Cadev merupakan bantalan yang dikumpulkan pada saat aliran modal masuk (inflow) tinggi dan akan digunakan pada saat ada tekanan aliran modal keluar (outflow). Bulan lalu, BI harus menggunakan Cadev untuk merespons tekanan outflow.
Pembalikan modal yang terjadi pada bulan lalu, lanjut Perry, berasal dari faktor teknikal yang langsung direspons oleh investor jangka pendek.
Dalam hal ini, ada tiga pemicu utama pendorong aliran modal keluar. Pertama, rencana kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Kedua, pemilihan Gubernur bank sentral AS, The Federal Reserve. Terakhir, pengumuman Presiden AS Donald Trump terkait pemangkasan pajak yang diyakini bakal mendongkrak perekonomian AS. Akibatnya, investor jangka pendek langsung mengalihkan modalnya ke negara maju, termasuk AS.
Keluarnya aliran modal memicu pelemahan nilai tukar. Tak ayal, bulan lalu, rupiah sempat menembus level psikologis Rp13.600 per dolar AS.
"Jadi ya wajar, pada saat inflow tinggi, cadev naik hingga pernah mencapai level tertinggi US$129,4 miliar. Pada saat kemarin ini gonjang ganjing global, khususnya dari Amerika Serikat yang ada pembalikan modal ya wajar (Cadev turun) karena kami harus melakukan stabilisasi nilai tukar sehingga menggunakan Cadev," ujarnya.
Ke depan, BI akan selalu berada di pasar untuk memantau perkembangan nilai tukar. Jika diperlukan, BI akan melakukan upaya stabilisasi nilai tukar untuk menjaga rupiah berada di nilai fundamentalnya.
(lav/bir)