Jakarta, CNN Indonesia -- Perbankan syariah pada tahun depan diramal akan tumbuh lebih cepat dengan pangsa pasar yang diperkirakan mencapai 6 persen hingga 8 persen. Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah adalah dengan merealisasikan merger bank syariah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun depan.
“Kami melihat bahwa tahun 2018 ini adalah awal dari tahun-tahun keemasan industri perbankan syariah. Akan ada banyak hal baru terjadi, akan ada dorongan dari Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS)," ujar Founder perusahaan konsultan bisnis syariah Karim Consulting Indonesia, Adiwarman Azwar Karim, di Jakarta, Rabu (8/11).
Ia memperkirakan, pangsa pasar
(market share) perbankan syariah tahun depan bisa tumbuh mencapai 6 hingga 8 persen. Salah satunya faktornya adalah rencana Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk merealisasikan merger beberapa bank syariah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ia menambahkan target tersebut juga dapat tercapai, jika merger antara salah satu Bank Umum Syariah (BUS) dengan Unit Usah Syariah (UUS) terealisasi. Merger tersebut diharapkan memperkuat peran bank syariah tersebut guna menyalurkan pembiayaan perumahan.
"Kalau kedua hal itu terjadi, ditambah dengan yang ketiha, yakni konversi Bank NTB (Nusa Tenggara Barat) menjadi bank syariah, maka angka market share 8 persen akan tercapai. Tapi kalau tidak maka, hanya di angka 6 persen," terangnya.
Adiwarman memperkirakan, aset perbankan syariah pada tahun depan akan mencapai Rp462 triliun, lebih tinggi dari tahun ini sebesar Rp409,33 triliun. Ia juga memproyeksi rasio keuangan perusahaan atau Return On Assets (ROA) industri perbankan syariah secara keseluruhan di tahun depan bisa mencapai 3,39 hingga 4,09 persen.
“Tahun 2018, kalau pertumbuhannya normal akan mencapai Rp462 triliun. Tapi optimistisnya, dia (aset) akan melewati untuk pertama kalinya angka Rp500 triliun.” terang dia.
Pertumbuhan aset tersebut menurut Adiwarman, akan didorong KNKS, melalui strategi
'High Growth-Low Risk', yakni melalui pembiayaan proyek infratruktur pemerintah.
"Kami yakin tahun 2018 keadaannya jauh lebih membaik dibandingkan tahun 2017," ujarnya.
Kinerja BUKU 2Adapun pada tahun ini, Adiwarman menilai, kinerja mayoritas Bank Umum Syariah (BUS) atau yang masuk dalam kelompok BUKU 2 atau dengan modal di kisaran Rp1 triliun hingga Rp5 triliun kurang produktif. Hal ini terlihat dari angka ketidakcocokan pengelolaan uang jangka pendek
(short term missmatch/STM) yang naik dari 23,4 persen pada Agustus tahun lalu menjadi 58,86 persen pada Agustus tahun ini.
Kenaikan STM, menurut dia, disebabkan NPF mereka yang menurun, dari 5,09 persen per Agustus 2016 menjadi 3,55 persen per Agustus 2017, seiring dengan restrukturisasi yang dilakukan kelompok bank tersebut.
Karim Consulting mencatat, per Juni 2017 bank syariah BUKU 2 melakukan restrukturisasi kredit hingga mencapai Rp 18,2 triliun atau sekitar 5,5 persen dari total pembiayaan.
“Tingginya STM itu berakibat pada rendahnya FDR karena bank cenderung untuk menahan dananya. Dana yang ditahan ini tentunya akan menjadi kurang produktif, sehingga akhirnya menekan NIM
(Net Interest Margin) dari bank syariah BUKU 2 dan ROA,” jelasnya.
(agi/dit)