Surabaya, CNN Indonesia -- Perbankan syariah di Indonesia pada bulan ini tepat menginjak usia yang ke-26. Kelahirannya bertepatan dengan lahirnya PT Bank Muamalat Indonesia pada 1 November 1991 silam sebagai bank umum syariah pertama.
Selama dua dekade tersebut, jumlah bank syariah di Tanah Air pun banyak bertambah, baik dalam bentuk bank umum maupun unit usaha syariah. Nyatanya, hingga kini, pangsa pasar perbankan syariah masih saja stagnan di kisaran 5 persen. Padahal, harapan besar sempat menggelayut pada industri ini melihat mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per September 2017, pangsa perbankan syariah dari total aset perbankan nasional sekitar 5,57 persen. Total asetnya mencapai Rp405,3 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Capaian tersebut boleh dibilang berada jauh di bawah negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti Arab Saudi yang sudah berada di atas 51 persen dan Malaysia yang ada di kisaran 24 persen.
Melihat lambannya perkembangan tersebut, otoritas pun membuat berbagai siasat. Salah satunya, dengan membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 tentang KNKS.
Komite ini bahkan dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo. Tujuannya, untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan keuangan syariah dalam rangka mendukung pembangunan.
Salah satu agenda komite adalah memastikan terlaksananya
masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (AKSI) yang telah diluncurkan pemerintah Indonesia di sela gelaran World Islamic Economic Forum (WIEF) 2016 lalu.
Siasat lainnya, pemerintah melalui Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) juga melibatkan perbankan syariah dalam pengelolaan dana haji.
Bank Indonesia (BI) juga secara aktif memberikan sosialisasi kepada masyarakat dengan menggelar berbagai kegiatan baik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Secara khusus, BI juga memiliki Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah yang aktif memantau perkembangan ekonomi dan keuangan syariah serta menyusun kajian kebijakan untuk mempercepat perkembangannya.
Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun Peta Jalan
(Road Map) Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia untuk 2017 – 2019.
Namun, upaya tersebut nampaknya belum ampuh untuk meningkatkan penetrasi perbankan syariah. Berdasarkan survey OJK tahun lalu, tingkat literasi keuangan syariah cuma 8,11 persen. Sementara, tingkat inklusi keuangan syariah hanya 11,06 persen.
Pengamat perbankan syariah Adiwarman Karim menilai, hal yang perlu dilakukan untuk mendongkrak pangsa perbankan syariah adalah menciptakan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah yang stabil dan berkelanjutan. Salah satunya adalah menggarap pasar lainnya di luar keuangan, seperti gaya hidup halal
(halal life style) masyarakat.
"Selama ini, terlalu berfokus pada sektor keuanganya. Sekarang, telah disadari bahwa tidak cukup sisi keuangan, tetapi juga harus diperkuat orang yang membutuhkan keuangannya sehingga halal
life style akan dikembangkan," ujarnya.
Upaya itu juga perlu ditunjang dengan pemberdayaan lembaga keuangan mikro syariah dan reformasi pemanfaatan instrumen amal, seperti zakat dan wakaf. Dengan demikian, tidak hanya sektor perbankan syariah yang akan terdorong, tetapi ekonomi dan keuangan syariah secara umum juga akan berkembang.
Adiwarman pun mengingatkan, industri perbankan syariah bukan lagi industri yang baru lahir, sehingga jangan sampai industri dibanjiri sejumlah insentif yang bersifat meninabobokan untuk bisa bersaing.
"Kalau dulu menggunakan
infant industry strategy misalnya melakukan proteksi. Saat ini, strategi itu tidak lagi cocok lagi dilakukan karena industrinya sudah lama berjalan," ujarnya.
Relaksasi yang diberikan, lanjut Adiwarman, hendaknya hanya sebatas mengakomodir karakteristik yang berbeda antara perbankan syariah dan konvensional.
Pemerintah dan otoritas keuangan memang awalnya lebih fokus dalam mendorong keuangan syariah sendiri. Ini terlihat dari berbagai upaya otoritas keuangan yang memberikan berbagai kemudahan bagi perbankan syariah untuk bisa bersaing dengan perbankan konvensional.
Insentif tersebut, antara lain berupa pelonggaran pemenuhan permodalan awal bagi unit-unit usaha syariah yang melakukan pemisahan dari entitas induk
(spin-off), yaitu dari Rp1 triliun menjadi Rp500 miliar. Kemudian, insentif besaran modal inti per cabang bank syariah yang lebih kecil dibandingkan dari bank konvensional.
Dalam beberapa waktu terakhir, regulator mulai mengubah paradigma dengan mendorong perkembangan sektor riil berbasis syariah. Dengan mendorong perkembangan sektor riil berbasis syariah diharapkan permintaan terhadap pembiayaan dari sektor keuangan berbasis syariah juga akan meningkat.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengibaratkan industri keuangan syariah sebagai bus dan pelaku industri berbasis syariah sebagai penumpang. Jika penumpang semakin banyak, maka permintaan bus akan meningkat.
"Kami semakin menyadari, kami tidak akan bisa berhasil mengembangkan sektor keuangan syariah, perbankan, asuransi, dan Lembaga Keuangan Mikro, kalau hanya fokus ke sektor keuangan. Pemberdayaan ekonomi syariah harus didorong," tutur Perry di sela gelaran Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-4 di Surabaya, Selasa (7/11).
Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia perlu mengembangkan rantai pasok halal
(halal supply chain). Rantai pasok halal merupakan jejaring aktivitas ekonomi untuk memproduksi dan memenuhi berbagai kebutuhan produk dan jasa halal.
Sayangnya, saat ini posisi Indonesia bisa dibilang tertinggal dibandingkan negara lain. Indonesia memang selama ini merupakan pasar yang besar bagi produk halal dunia, tetapi bukan pemain utama.
Berdasarkan data Global Islamic Economy (GIE) Indicator 2016-2017, daya saing ekonomi dan syariah Indonesia hanya menempati peringkat 10 di bawah Malaysia dan negara-negara di semenanjung Arab.
Jika dilihat berdasarkan sektornya, Indonesia hanya mampu masuk dalam peringkat 10 besar untuk industri keuangan syariah yang berada di peringkat 9 dan industri kosmetik dan obat-obatan halal di peringkat 8. Sementara itu, Indonesia masih belum mampu menembus peringkat 10 besar untuk industri makanan halal, pariwisata halal, fashion halal.
 Industri produk dan jasa halal di Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono). |
Di sisi lain, potensi pasar produk dan jasa halal di Indonesia sangat besar, yaitu hampir mencapai Rp3.000 triliun pada tahun 2015. Untuk pasar industri makanan halal, Indonesia menempati peringkat pertama dengan nilai sekitar US$154,9 miliar. Kemudian, pakaian halal peringkat 5 dengan nilai US$13,28 miliar, pariwisata halal peringkat 5 dengan nilai US$9,1 miliar, dan obat-obatan dan kosmetik halal menduduki peringkat empat dengan nilai US$5 miliar.
Jika semua itu digarap, dengan baik oleh pelaku industri dalam negeri, bukan tidak mungkin pangsa pasar keuangan syariah akan naik menjadi dua kali lipat.
BI sendiri menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di dunia pada 2024 mendatang.
Di sisi lain, industri perbankan syariah juga masih harus berbenah, misalnya dalam hal variasi produk keuangan yang bisa memenuhi kebutuhan nasabah. Dengan inovasi dan perbaikan layanan, perbankan syariah nasional bisa bersaing dengan perbankan konvensional dalam menarik dana murah masyarakat.
"Layanan perbankan syariah harus tidak kalah dengan perbankan konvensional,” ujar Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Mochamad Hadi Santoso beberapa waktu lalu.
Semakin maraknya layanan keuangan berbasis keuangan (fintech) juga bisa menjadi peluang perbankan syariah untuk memperluas basis nasabah.
Direktur Utama Bank BCA Syariah John Kosasih meyakini, pangsa pasar bank syariah masih sangat besar di Indonesia. Syaratnya, jika industri mampu meningkatkan layanan dan ragam produk.
"Yang perlu dilakukan adalah memperkaya ragam produk dan meningkatkan layanan," ujar John.
Ia pun menekankan, pengembangan perbankan syariah bukanlah hanya tanggung jawab satu pihak. Keberhasilan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah merupakan hasil kolaborasi antar otoritas, pelaku industri, dan masyarakat.
(agi)