Jakarta, CNN Indonesia -- Dampak penggunaan akses internet melalui ponsel (mobile internet) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diteliti lebih rendah dibanding dampak yang dihasilkan di Malaysia.
Berdasarkan hasil penelitian dari lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomi dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, penambahan pelanggan ponsel sebesar 10 persen akan berpengaruh terhadap 0,4 persen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan di Malaysia, pemakaian
mobile internet memberi dampak 0,43 persen.
Deputi Direktur P2EB Artidiatun Adji menduga hal itu disebabkan infrastruktur teknologi informasi di Malaysia lebih baik, sehingga penetrasi digital ke beberapa sektor perekonomian menjadi lumrah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Namun kami baru sebut ini dugaan sementara, karena kami masih perlu melihat penyebab utama dari lebih tingginya dampak mobile internet di Malaysia ketimbang Indonesia,” papar Artidiatun, Kamis (9/11).
Dugaan lainnya, lanjut dia, adalah pengenalan regulasi mengenai pemanfaatan teknologi informasi yang lebih awal di Malaysia. Adapun, Undang-Undang (UU) Telekomunikasi dan Multimedia di Malaysia diloloskan tahun 1998. Sementara itu, peraturan mengenai penggunaan teknologi informasi di Indonesia baru muncul tahun 2008.
Selain itu, pendataan mengenai konsumsi masyarakat terhadap telepon selular di Indonesia juga terbilang terlambat. Terbukti, pola pengeluaran masyarakat dan aspek konsumsi teknologi informasi di Indonesia baru dimasukkan ke dalam Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2015.
“Dengan faktor suprastruktur seperti regulasi di Malaysia, maka iklim usaha yang menggunakan basis teknologi informasi di Malaysia terbilang lebih baik,” lanjutnya.
Meski demikian, setidaknya dampak pemakaian
mobile internet terhadap PDB tidak begitu sengsara dibanding negara lainnya. Ia mencontohkan, kenaikan pelanggan ponsel sebesar 10 persen berdampak pertumbuhan PDB di negara maju.
Namun, hingga saat ini, masih belum diketahui latar belakang dibalik dampak yang serupa tersebut. “Karena penelitian kami masih bersifat makro, sehingga perlu dilakukan lagi mengenai penelitian untuk tiap kelompok masyarakat,” jelas Artidiatun.
Selain itu, angka 0,4 persen ini pun dianggap masih lebih baik dibanding rata-rata Asia sebesar 0,1 persen hingga 0,3 persen dan bahkan dari rata-tata negara Asia Tenggara sebesar 0,2 persen.
“Tapi tentu ini butuh bantuan pemerintah agar penetrasi mobile internet bisa berdampak ke PDB. Sebab, untuk kasus di Indonesia, masyarakat secara teknis sudah siap menggunakan telepon genggam. Hanya saja, secara budaya belum siap, terbukti dengan banyaknya kasus berita
hoax (palsu) hingga
bullying (perundungan) di ranah internet,” pungkasnya.
(lav/bir)