Surabaya, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mendorong pengembangan layanan keuangan digital (fintech) berbasis syariah di Indonesia karena dianggap bisa meningkatkan daya saing lembaga keuangan syariah melalui peningkatan efisiensi dan kecepatan layanan.
Saat ini, nasabah perbankan syariah baru mencapai 12 juta nasabah atau hanya 8,8 persen dari total nasabah nasional. Padahal, jumlah penduduk muslim di Indonesia tercatat yang terbesar di dunia.
"Jalan ke arah tumbuh dan berkembangnya fintech syariah (di Indonesia) terbuka lebar," ujar Deputi Gubernur BI Sugeng saat membuka seminar
Growing Demand for Fintech in Islamic Finance and Its Challenges, di Surabaya, Jumat (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena
fintech syariah sebenarnya bukan barang baru di dunia, melainkan telah berkembang di beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, Kanada, Singapura dan Malaysia. Sebagian besar aplikasinya berfokus pada layanan pemberian pinjaman.
Salah satu bidang usaha yang potensial untuk disentuh oleh
fintech syariah adalah pesantren berbasis teknologi. Dengan banyaknya produk-produk berkualitas yang dihasilkan oleh berbagai pesantren,
fintech syariah dapat menyediakan platform kerja sama saling suplai untuk hasil produk antar pesantren.
Sementara di bidang lain, seperti wisata halal, potensi kehadiran
fintech untuk memfasilitasi layanan pembayaran atau pemasaran juga sangat besar.
Menurut Sugeng, pemanfaatan peluang penerapan
fintech syariah dapat dilakukan dengan pendekatan tiga pilar strategis pengembangan ekonomi dan keuangan syariah.
Pertama, pemberdayaan ekonomi syariah, terutama penguatan aspek kelembagaa infrastruktur
fintech syariah. Kedua, peningkatan efisiensi pasar keuangan dengan penerapan
fintech secara efisien dan tepat guna. Terakhir, peningkatan riset dan edukasi yaitu melalui transfer ilmu dari para pelaku
fintech ke berbagai lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia serta peningkatan pemahaman pada umumnya.
Sugeng menekankan, dalam menggali potensi fintech berbasis syariah di Indonesia, usaha seluruh pihak harus dikerahkan. Rambu-rambu syariah di area
fintech, mulai dari akad, syarat, rukun, hukum, administrasi pajak, akuntansi, hingga audit, perlu diyakini dan dijaga dengan baik.
"Oleh karenanya, para akademisi, pakar fiqih, regulator, praktisi keuangan, dan pelaku
startup perlu duduk bersama dan bersinergi untuk terus melakukan kajian, pengembangan serta pengawasan terhadap aplikasi Fintech berbasis syariah, khususnya di Indonesia," ujarnya.
Sebagai informasi, berdasarkan data Asosiasi Fintech Indonesia (AFI), terdapat 184 perusahaan
fintech yang bergerak di empat kategori berbeda. Keempat kategori tersebut yaitu, Pertama, kategori simpanan, pembiayaan, dan pengumpulan modal. Kedua, kategori pembayaran, kliring, dan setelmen. Ketiga, investasi dan manajemen risiko (investment and risk manajemen), dan terakhir penyediaan pasar (market provisioning).
Mayoritas pelaku
fintech berasal dari kategori payment di mana jumlah pelakunya mencapai 77 penyelenggara fintech.
Dari sisi nominal, selama tahun 2017, nilai transaksi
fintech di Indonesia, telah mencapai sekitar US$18,65 miliar dan diperkirakan bakal mencapai US$37 miliar pada 2021. Transaksi
fintech dari kategori pembayaran masih mendominasi yaitu sebesar US$18,61 miliar.
(lav/vws)