Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dinilai akan terus mengalami kekurangan penerimaan pajak (shortfall) jika tidak segera melakukan strategi kreatif dalam eksistensifikasi dan intensifikasi pengejaran dana pajak.
Ekonom Insitute for Development of Economic and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, saat ini pengoleksian pajak di Indonesia masih bersifat strategi biasa (business as usual) yang masih menggantungkan tiga sumber utama, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (Pph), dan cukai.
Ia menilai, jika tidak ada reformasi perpajakan secara menyeluruh khususnya dalam penerimaan pajak, maka tidak akan terjadi lonjakan penerimaan pajak yang signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya akan seperti ini saja kenaikan penerimaannya, stagnan-stagnan saja, kalaupun meningkat as usual, tidak ada akselerasi lonjakan yang begitu cepat, kecuali ada terobosan terbaru." ucapnya di Jakarta, Jumat (10/11).
Salah satu strategi, dia merekomendasikan agar pemerintah terus aktif mencari objek pajak baru untuk mengisi pundi-pundi fiskal negara. Dia menyarankan Bendahara Negara mulai mengkaji produk-produk selain rokok dan alkohol yang dapat berpotensi dikenakan cukai.
"Nah itu kan suatu terobosan yang artinya bisa mendongkrak penerimaan pajak, artinya ada intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak." tuturnya.
Heri mengaku sependapat dengan wacana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengkaji kebijakan pengenaan pajak bagi para pelaku perdagangan elektronik (e-commerce).
"Misalkan kalau kita transaksi e-commerce atau transaksi online dengan nominal Rp100 ribu, 10 persen akan masuk DJP (Direktorat Jenderal Pajak)" terangnya.
Seperti diketahui, pemerintah masih mengalami shortfall tahun ini. Per Oktober 2017, realisasi penerimaan pajak tercatat baru mencapai 67,7 persen atau sekitar Rp869,6 triliun dari target yang sudah ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP), yakni sebesar Rp1.238,6 triliun
Realisasi penerimaan pajak tercatat menyusut sebesar 0,15 persen secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp870,95 triliun. (dit)
(lav/vws)