Jakarta, CNN Indonesia -- Joko Widodo bakal menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mewajibkan korporasi untuk membuka identitas pemilik manfaat (
beneficial ownership) perusahaan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.
Hal tersebut seakan menjadi senjata lanjutan pemerintah dalam memperjuangkan transparansi keuangan, sejak 'ramai' perjanjian keterbukaan data dalam lingkup internasional.
Sebut saja program Automatic Exchange of Information (AEoI) atau pertukaran data keuangan yang rencananya bakal diimplementasikan pada tahun depan. Hal itu merupakan kesepakatan dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam draf Perpres tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dan Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang diperoleh
CNNIndonesia.com, dijelaskan beberapa poin pertimbangan yang menjadi dasar penerbitan.
Pertama,tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, serta membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, berdasarkan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, perlu adanya pengaturan dan mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum.
Ketiga, korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tindak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan penerima manfaat dari hasil tindak pidana untuk melakukan kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga perlu mengatur penerapan prinsip mengenali penerima manfaat dari korporasi.
"Perpres tersebut diakomodasi oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) terkait pencucian uang, terorisme dan mencegah korupsi. Salah satu yang perlu diutamakan adalah definisi di setiap sektor seperti keuangan, sampai anti korupsi," ujar Maryati Abdullah, Koordinator Nasional di Publish What You Pay Indonesia.
Draf Perpres tersebut menjelaskan bahwa pemilik manfaat adalah orang perseorangan, termasuk juga orang perseorangan dalam korporasi yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi atau pengurus pada korporasi.
"Memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini," tulis draf Perpres itu.
 Ilustrasi distribusi uang. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Diharapkan Bisa MeluasMaryati mengatakan, setelah pendefisian itu, maka seharusnya fokus bisa menyasar ke sistem registrasi, serta badan yang bertugas untuk mengumpulkan data perusahaan itu.
"Kemudian setelah jelas model registrasinya, kemudian masuk ke cara untuk mengakses dan menggunakan data itu. Bisa lintas kementerian atau lembaga," ujarnya.
Disebutkan dalam draf Perpres, informasi pemilik manfaat dari korporasi sebagaimana dimaksud paling sedikit mencakup, nama lengkap; nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor; tempat dan tanggal lahir; kewarganegaraan; alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas; alamat di negara asal dalam hal warga negara asing; Nomor Pokok Wajib Pajak; dan hubungan antara korporasi dengan pemilik manfaat.
Sementara, definisi korporasi dalam kaitan dengan pemilik manfaat juga tercatat luas. Dalam pasal 2 ayat 1 draf itu disebutkan, pengaturan dalam Perpres ini melingkupi penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi.
"Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi perseroan terbatas; yayasan; perkumpulan; koperasi; persekutuan komanditer; persekutuan firma; atau bentuk korporasi lainnya," demikian bunyi pasal 2 ayat 2 Perpres itu.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan rencana pemerintah tersebut lebih memberi kesan menyoal wilayah kerja dari PPATK. Ia berharap realisasinya nanti bisa lebih luas ke lembaga lain yang juga bersangkutan.
"Memang [wilayah kerja] ini lebih PPATK. Kita mengenali domainnya dari situ. Sebaiknya ada juga di Direktorat Jenderal Pajak dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) supaya ada satu konsep tunggal. Tampaknya ini nanti tertutup, dan akan eksklusif ke PPATK," katanya.
Namun, dalam pasal 17 ayat 1 di draf Perpres tersebut, disebutkan bahwa setiap orang dapat meminta informasi pemilik manfaat kepada otoritas berwenang.
"Tata cara meminta informasi pemilik manfaat dari korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan informasi publik," tulis ayat 2 pasal tersebut.
(gir)