Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menyatakan arah kebijakan moneter bank sentral tahun depan tetap mengarah pada upaya menjaga tingkat inflasi agar sesuai dengan sasarannya. Seperti diberitakan sebelumnya, tahun depan BI menargetkan inflasi akan ada di kisaran 3,5 plus minus 1 persen.
"Pada sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) akan terus menempuh stance kebijakan moneter yang terukur dan sesuai dengan upaya menjaga inflasi dalam kisaran sasarannya," ujar Gubernur BI Agus DW Martowardojo pada Pertemuan Tahunan BI 2017, Selasa (28/11).
Selain itu, lanjut Agus, arah kebijakan moneter BI juga untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan (CAD) di level yang aman. Tahun ini, CAD diperkirakan akan berada di bawah dua persen di bawah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sementara tahun depan CAD diperkirakan melebar menjadi di bawah tiga persen dari PDB seiring meningkatnya aktivitas ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bank sentral juga akan memberikan ruang lebih bagi bank dalam mengelola likuiditasnya. Caranya dengan memperkuat implementasi Giro Wajib Minimum (GWM) rata-rata (averaging). Ke depan, GWM averaging akan dikembangkan tidak hanya untuk bank konvensional tetapi juga untuk bank syariah.
Secara bertahap, ketentuan ini juga akan diberlakukan untuk likuditas valuta asing (valas), tidak hanya rupiah. Dengan cara ini, BI berharap biaya dana perbankan bisa ditekan dan berujung pada turunnya suku bunga kredit.
Terkait nilai tukar, bank sentral akan selalu berada di pasar untuk menjaga rupiah agar sesuai nilai fundamentalnya dengan memperhatikan mekanisme pasar. BI ingin mengurangi ketergantungan Indonesia kepada mata uang tertentu sehingga bisa meredam dampak negatif jika terjadi gejolak pada satu mata uang. Salah satu caranya, adalah dengan terus mendorong swap lindung nilai dengan mata uang non dolar AS.
Selanjutnya, BI akan terus mendorong upaya pendalaman pasar keuangan melalui kerja sama dengan berbagai instansi, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satunya dilakukan dengan penyusunan penguatan cetak biru (blue print) penguatan kelembagaan untuk transaksi derivatif, pengembangan industri jangka pendek sesuai kebutuhan pasar.
Di sektor makroprudensial, BI bakal menyempurnakan kebijakan ketentuan uang muka kredit perumahan (LTV). Setelah sebelumnya mengkaji soal ketentuan LTV berdasarkan wilayah (spasial), BI kini intens mengkaji penyempurnaan kebijakan dengan memperhatikan segmen atau jenis properti.
BI juga mendorong pengembangan perekonomian syariah. Misalnya dengan mengeluarkan instrumen pengembangan pembiayaan sosial keagamaan.
Di sistem pembayaran, BI akan melanjutkan upaya elektronifikasi dan integrasi sistem pembayaran sehingga lebih efisien. Tahun depan, BI akan fokus dalam pembentukan kelembagaan yang dibutuhkan dalam elektronifikasi sistem pembayaran dalam hal ini lembaga switching, standar, dan services.
Agus mengungkapkan stabilitas makroekonomi dan keuangan saat ini masih terjaga. Karenanya, BI meyakini tingkat inflasi tahun depan masih terkendali. Hal ini juga bisa menjadi modal bagi Indonesia untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, seimbang dan inklusif. Adapun tahun depan, bank sentral memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh di kisaran 5,1 hingga 5,5 persen.
Namun demikian,tahun depan, perekonomian Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan, baik di tingkat global maupun domestik.
Di tingkat global, tantangan berasal dari beberapa hal. Pertama, berlanjutnya tren pengetatan di negara maju yang berisiko mempengaruhi arah likuiditas dunia dari negara berkembang ke negara maju. Kemudian, pertumbuhan ekonomi global bisa saja tak sekuat perkiraan sehingga akan mempengaruhi permintaan dunia.
Selanjutnya, krisis geopolitik di sejumlah negara, salah satunya Semenanjung Korea, juga perlu dicermati. Pasalnya, hal ini bisa mempengaruhi arus modal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, gejala proteksionisme perdagangan negara-negara di dunia juga perlu dicermati karena akan mempengaruhi aktivitas perdagangan.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi domestik masih belum optimal dalam merespon perkembangan perekonomian global. Hal itu tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih terbatas.
Struktur ekspor Indonesia yang masih terpaku pada komoditas sumber daya alam perlu diperbaiki. Kemudian, penyebaran pasar ekspor dibandingkan periode sebelumnya juga makin terkonsentrasi ke China. Hal ini memberikan risiko penurunan aktivitas perdagangan jika terjadi gejolak di China.
Berikutnya, ketergantungan impor jasa, khususnya jasa transportasi, masih tinggi sehingga menyebabkan neraca jasa masih defisit. Dari sisi pembiayaan domestik juga belum optimal. Akibatnya, pembiayaan masih banyak yang bergantung dari luar negeri.
Terakhir, perkembangan teknologi digital juga perlu diantisipasi. Meskipun dapat meningkatkan efisiensi, teknologi digital meningkatkan berbagai risiko seperti kemudahan dalam pencucian uang hingga kejahatan siber.
(lav)