Demi LRT, Meniti Jarak Sejengkal Dengan Waktu Tempuh 'Seabad'

Christine Novita Nababan & Dinda Audriene Mutmainah | CNN Indonesia
Selasa, 12 Des 2017 08:08 WIB
Pembahasan pembangunan proyek LRT cukup alot. Namun, masyarakat menaruh asa pada proyek yang akan beroperasi di tahun politik itu.
Pembahasan pembangunan proyek LRT cukup alot. Namun, masyarakat menaruh asa pada proyek yang akan beroperasi di tahun politik itu. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma).
Jakarta, CNN Indonesia -- Sulaiman (44 tahun), supir ojek transportasi daring, mengaku lelah acap kali melintasi perempatan Kuningan-Gatot Subroto mengarah ke Mampang. Kemacetan parah di lintasan tersebut mengakibatkan jarak 3 kilometer (KM) harus ditempuh dengan waktu 30-40 menit.

Kemacetan parah itu memang terjadi saban hari bukan tanpa sebab. Proyek Light Rail Transit (LRT) dan jalan tembusan bawah (underpass) yang tengah dikejar pemerintah bertemu di lintasan Kuningan-Gatot Subroto dan jalan layang (flyover) perempatan Pancoran. Tidak heran, kemacetan yang diakibatkan semakin parah dari sekadar penumpukan kendaraan di jam-jam sibuk.

“Ini gila. Kalau dapat penumpang yang tujuannya memaksa melewati perempatan Kuningan-Gatot Subroto atau Pancoran, meskipun jaraknya cuma 2-3 KM, waktu tempuhnya bisa seabad. Dijamin darah tinggi,” ujarnya berkelakar, Senin (11/12).
Akibat lainnya, kata Sulaiman, pendapatan ikut tersendat. Ia menjelaskan, mengantar 2-3 penumpang di sekitaran Tebet cuma menghabiskan waktu satu jam dengan tarif rata-rata per orang Rp10 ribu. Artinya, ia mengantongi Rp30 ribu dalam satu jam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, apabila menjemput penumpang di Plaza Festival, HR Rasuna Said, ke Jalan Kapten Tendean, berarti terpaksa melintasi perempatan Kuningan-Gatot Subroto. “Ongkosnya cuma Rp8 ribu. Dipotong promo pula menjadi Rp3 ribu. Tapi waktu saya habis di jalan bisa 40 menit,” keluhnya.

Penumpang bus Transjakarta, Fia (24 tahun), punya pengalaman berbeda. Karyawan swasta yang berdomisili di Cipayung ini harus ikhlas meluangkan waktu sekitar 3 jam berdesakan di jalan untuk sampai di kantor tepat waktu di bilangan Senayan.
“Padahal, dulu, sebelum banyak proyek pembangunan, perjalanan rumah ke kantor hanya memakan waktu 1,5 jam. Sekarang, jadi tiga jam. Lama sekali,” imbuh wanita yang mengaku tak memiliki pilihan transportasi selain Transjakarta.

Sebetulnya, cerita Sulaiman dan Fia hanya segelintir dari banyak cerita pengguna jalan yang terdampak proyek pembangunan LRT Jabodebek dan underpass. Namun, itulah pembangunan. Prosesnya menyita waktu dan tenaga. “Semoga hasilnya sepadan,” terang Sulaiman.

EMBARGO, Meniti Jarak Sejengkal Dengan Waktu Tempuh 'Seabad'Ilustrasi. (Antara/Feny Selly).

Menyulap Proyek Mangkrak Jadi LRT

Kendati mengakibatkan kemacetan hingga belasan kilometer, Sulaiman dan Fia sama-sama mengaku, tak sabar menanti hasil proyek-proyek pembangunan Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla. Mereka kompak mengakui bahwa pembangunan sangat terasa di era Jokowi - JK.

Sebetulnya, gagasan LRT lahir dari proyek monorel yang mangkrak. Jokowi yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta didampingi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kemudian memilih membangun LRT ketimbang monorel. 

Pada 2013 silam, ide membangun LRT pun dikembangkan. LRT Jakarta merupakan proyek Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang digarap oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Sementara, LRT Jabodebek dibangun oleh pemerintah pusat. Pemerintah Pusat sendiri menunjuk Adhi Karya sebagai kontraktor dan KAI sebagai operator dan penyelenggara pendanaan.

LRT Jakarta akan meliputi tujuh koridor, yakni Kebayoran Lama - Kelapa Gading, Tanah Abang - Pulomas, Joglo - Tanah Abang, Puri Kembangan - Tanah Abang, Pesing - Kelapa Gading, Pesing - Bandara Soekarno Hatta, dan Cempaka Putih - Ancol.

Sementara, rute LRT Jabodebek meliputi Cawang - Cibubur, Cawang - Kuningan - Dukuh Atas, Cawang - Bekasi Timur, Dukuh Atas - Senayan, Cibubur - Bogor, dan Palmerah - Bogor.

Kedua LRT ini akan bersinggungan di Dukuh Atas, melintasi Manggarai dan Dukuh Atas menuju Tanah Abang. Dukuh Atas menjadi pusat berkumpulnya moda transportasi massal, seperti Mass Rapid Transit, Transjakarta, Kereta Bandara, Kereta Rel Listrik dan LRT Jabodebek.


Surat 'Miskin' Untuk KAI

Meski bayang-bayang LRT di depan mata, warga Jakarta dan sekitarnya harus sabar menanti proyek ini benar-benar rampung pada 2019 mendatang. Pasalnya, ada jerit ketidakmampuan dari penyelenggara proyek. Ibarat kata, surat miskin. Adalah KAI selaku operator proyek yang dikhawatirkan.

Hal itu semakin dipertegas melalui Surat Menteri BUMN Rini Soemarno kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perhubungan Budi Karya Samadi dengan nomor S-665/MBU/11/2017 tertanggal 20 November 2017.

Dalam surat itu, Kementerian BUMN mengusulkan agar KAI tak dijadikan penyelenggara pendanaan pembangunan kereta api ringan terintegrasi di Jabodebek, tetapi hanya sebatas penyelenggara dan operasi sarana LRT.

Alasannya, membengkaknya anggaran proyek dari Rp26,7 triliun menjadi Rp31,8 triliun. Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Triharto mengatakan, kenaikan nilai proyek LRT berpotensi mengganggu neraca keuangan perseroan.

Namun demikian, dalam rapat terakhir, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Panjaitan menegaskan, KAI tetap jadi investor utama pembangunan LRT Jabodebek. Keputusan tersebut sekaligus mementahkan usulan Menteri Rini yang usul dibentuknya perusahaan patungan (joint venture) untuk meringankan beban investasi KAI.

“Tidak ada JV. Sudah jelas strukturnya yang di-guarantee (dijamin) itu KAI. Tidak bisa pemerintah meng-guarantee nonpemerintah,” tegas Luhut.

Rapat finalisasi itu dihadiri juga oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Budi Karya Samadi, Direktur Utama Adhi Karya Budi Harto, Direktur Utama SMI Emma Sri Martini, dan Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmojo.

Dalam rapat itu, estimasi anggaran proyek juga dipangkas dari semula Rp31,8 triliun menjadi Rp29,9 triliun.

Budi Karya menuturkan, anggaran proyek dipangkas karena dua stasiun, yakni Cikoko dan Halim, sementara waktu dikeluarkan dari  perencanaan pembangunan. Keduanya rencananya akan menyusul. “Dua itu dikeluarkan dulu, Cikoko dan Halim. Itu nilainya sebesar Rp400 miliar,” imbuhnya.

Adapun, Adhi Karya berkontribusi sebesar Rp4,2 triliun dan KAI sebesar Rp25,7 triliun. Adhi Karya akan mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp1,4 triliun, sedangkan KAI mengantongi suntikan modal dari APBN 2018 Rp7,6 triliun.

Secara rinci, Adhi Karya akan mencari dana Rp2,8 triliun melalui rights issue atawa pinjaman bank. Sementara, KAI mencari pendanaan Rp18,1 triliun melalui sindikasi kredit atau pembiayaan melalui tiga bank BUMN, dua bank swasta, termasuk SMI.

Emma Sri Martini menilai, skema pembiayaan saat ini sudah sangat ideal. Ia menyebut, wajar kalau pun terjadi perubahan anggaran karena perubahan item dan spesifikasi teknis. “Optimis tahun 2019. Mudah-mudahan bisa soft operation di first half (semester pertama 2019),” pungkasnya.

Catatan redaksi: Ada penambahan keterangan "jalan layang (flyover)" pada paragraf kedua, dan penambahan KAI sebagai penyelenggara pendanaan pada paragraf ke-11 pada Rabu (13/12).  (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER