Jakarta, CNN Indonesia -- Pengembalian biaya operasi (
cost recovery) industri hulu minyak dan gas di sepanjang tahun lalu bengkak hingga US$600 juta dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) menjadi US$11,3 miliar.
"Angka
cost recovery per 31 Desember 2017 ini belum diaudit. Biasanya, hasil yang telah diaudit akan diketahui sekitar Maret, April," ujar Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (5/1).
Amien mengungkapkan,
cost recovery minyak terbesar dialokasikan untuk mendukung aktivitas operasi sebesar 47 persen dan depresiasi sebesar 29 persen. Kemudian, untuk administrasi 9 persen, pengembangan dan eksplorasi sebesar 7 persen, dan biaya yang belum dikembalikan 6 persen, serta kredit investasi 2 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara terpisah, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengingatkan, peningkatan
cost recovery digunakan untuk investasi bukan sekadar biaya. Sehingga, bisa menyumbang peningkatan penerimaan.
"
Cost recovery itu digunakan untuk investasi. Bukan cost recovery yang hanya biaya," katanya.
Tercatat, penerimaan negara dari sektor hulu migas sepanjang tahun lalu lebih besar dibandingkan
cost recovery, yaitu sebesar Rp135 triliun atau 113 persen dari target APBNP, Rp119 triliun. Tahun lalu, sumbangan penerimaan sektor migas cuma Rp87 triliun.
Jika dirinci, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas mencapai Rp86 triliun atau lebih besar 13,3 persen dari target tahun ini, Rp76,6 triliun. Tahun lalu, penerimaan PNBP migas hanya Rp49 triliun. Kemudian, di sektor pajak, penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas mencapai Rp49 triliun.
Peningkatan penerimaan migas tak lepas dari mulai pulihnya harga minyak mentah dunia. Tahun lalu, harga minyak dunia sudah berada di atas US$50 per barel membaik dari tahun sebelumnya yang bergerak di kisaran US$30 hingga US40 per barel.
(bir)