Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak lima tahun terakhir, pertumbuhan kredit perbankan cenderung mengalami perlambatan. Pertumbuhannya, bahkan, sejak 2016 sulit mencapai angka dua digit atau selalu tumbuh di bawah 10 persen.
Akhir tahun 2016, penyaluran kredit tercatat hanya tumbuh sebesar 7,8 persen
(year on year/yoy). Tahun lalu dan tahun ini pun nasibnya diperkirakan bakal tak jauh berbeda. Kredit perbankan diperkirakan bakal sulit kembali ke kisaran dua digit, apalagi kembali ke masa kejayaannya sebelum 2014 yang bahkan bisa mencapai kisaran 20 persen.
Tahun lalu, perbankan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) sebenarnya hanya menargetkan pertumbuhan sebesar 9,73 persen. Namun, melihat data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat, rata-rata penyaluran kredit masih di angka 7,47 persen (yoy) sampai November 2017, target tersebut terlihat cukup berat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walhasil, lembaga pengawas industri jasa keuangan ikut menurunkan ekspektasi pertumbuhan kredit bank hanya di kisaran 8-9 persen.
Namun, sebagai bentuk harapan, OJK dan industri bank rupanya masih optimis memasang target pertumbuhan kredit tahun ini. OJK misalnya, membidik angka 10-12 persen secara tahunan, sedangkan industri perbankan dalam RBB-nya mematok target pertumbuhan kredit rata-rata tahun ini 12,23 persen.
 Data Pertumbuhan Kredit (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Lantas, bagaimana prospek pertumbuhan kredit industri perbankan di tahun anjing bumi ini?
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara melihat, pertumbuhan kredit bank akan berkutat di kisaran 8,5 persen sampai 9 persen secara tahunan pada 2018.
Menurut Bhima, biang keladinya masih sama seperti 2017, yaitu belum bergairahnya permintaan
(demand) kredit dari nasabah, baik dunia usaha maupun masyarakat. "Rasanya tidak mungkin pertumbuhan kredit di dua angka," ucap Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (8/1).
Secara garis besar, rendahnya permintaan kredit terjadi karena nasabah masih nyaman menahan diri, sembari melihat kondisi dan kebijakan tahun ini. Nasabah, menurut dia, akan melihat sejauh mana politik di tahun ini akan berpengaruh pada kondisi ekonomi.
Di samping itu, menurut dia, nasabah juga akan melihat sejauh mana kebijakan pemerintah mengenai 'buka-bukaan' data nasabah perbankan. Kebijakan tersebut, merupakan implementasi kebijakan pertukaran informasi data nasabah secara otomatis
(Automatic Exchange of Information/AEoI)."Ada faktor ketakutan pada kebijakan otoritas pajak yang akan lebih galak pada tahun ini. Mereka (nasabah) takut dicurigai oleh petugas pajak," katanya.
Kendati begitu, ia menilai, masih ada harapan penyaluran kredit dari bank bertumbuh, meski tipis dari tahun lalu. Pasalnya, ada beberapa sektor dan segmen kredit yang cukup moncer tahun ini.
Bhima menyebut, sektor industri berbasis komoditas bisa mendapat perhatian lebih dari perbankan. Pasalnya, ada sentimen positif dari perbaikan harga komoditas yang diperkirakan akan berlanjut pada tahun ini.
"Misalnya untuk harga komoditas di sektor tambang, kelapa sawit, dan karet. Nantinya, ini bisa memicu pertumbuhan industri pengolahan pada semester II 2018, sehingga permintaan kredit pada sektor-sektor ini bisa meningkat," terangnya.
Dengan proyeksi ini, Bhima melihat, prospek pertumbuhan kredit bank akan lebih baik di luar Jawa, seperti Kalimantan dan Riau yang bertumpu pada harga komoditas sektor-sektor tersebut.
Sektor lain yang juga diperkirakan Bhima bakal moncer, yakni konstruksi dan infrastruktur. Ia bilang, para bank besar, khususnya bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih bisa menikmati pertumbuhan kredit dari sektor ini. Maklum, pemerintah terus mengejar setoran untuk menyelesaikan pembangunan berbagai proyek infrastruktur hingga 2019 mendatang.
"Ini masih jadi kontributor, khususnya kredit dari bank BUMN ke kontraktor BUMN. Uangnya berputar di antara mereka," imbuhnya.
Berdasarkan proyeksi tersebut, otomatis, pertumbuhan kredit segmen korporasi masih berpeluang tumbuh pada tahun ini, meski hanya untuk sektor tertentu.
Lalu, bagaimana dengan segmen konsumer, misalnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit pembiayaan, dan kartu kredit?
 Penyaluran KPR berpeluang tumbuh di tahun ini. (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho) |
Ia menilai, segmen kredit pembiayaan dan kartu kredit masih belum cukup baik pada tahun ini. Hal ini masih akan dipengaruhi oleh sikap menahan diri dari nasabah. Kendati begitu, untuk KPR, ada peluang bertumbuh.
"KPR untuk perumahan residen proyeksinya lebih tinggi, sudah mulai naik dari titik terendah pada 2016 lalu. Jadi bank yang fokus ke KPR bisa meningkatkan penyaluran kreditnya ke segmen ini," tekannya
Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Boedi Armanto melihat, pertumbuhan kredit bank berpotensi lebih baik pada tahun ini. Pasalnya, masa 'bersih-bersih' bank terhadap kredit yang bermasalah sudah hampir selesai.
Per November 2017, rasio kredit bermasalah
(Non Performing Loan/NPL) gross perbankan berada di angka 2,89 persen dan diperkirakan semakin membaik di akhir tahun lalu dan tahun ini. Perbankan pun diperkirakan akan mulai kembali menggencarkan penyaluran kredit pada tahun ini.
Untuk sektor penyaluran kredit, Boedi menilai, sektor kredit korporasi, seperti infrastruktur masih berpotensi menjadi kontributor utama. Namun, ada sektor lain yang dilihatnya juga cukup tokcer, misalnya perdagangan dan manufaktur.
"Kemarin (tahun 2017) kami lihat yang besar ke perdagangan dan manufaktur. Mungkin sekitar 20 persen di perdagangan dan 15 persen dari manufaktur. Ini bisa berlanjut," ujarnya.
Kendati secara industri, perbankan masih tumbuh di kisaran satu digit, beberapa bank masih mencatatkan pertumbuhan yang cukup kinclong, antara lain bank-bank BUMN.
PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) misalnya, menargetkan pertumbuhan kredit perseroan bakal berada di atas 20 persen (yoy) tahun ini, jauh lebih tinggi dari industri. Pada tahun lalu, pertumbuhan kredit perseroan diperkirakan berada di kisaran 20 persen (yoy).
Direktur Keuangan BTN Iman Soeko Nugroho menuturkan, pertumbuhan kredit tersebut masih akan didorong oleh KPR subsidi sebesar 25 persen (yoy). Adapun KPR nonsubsidi dibidik tumbuh di atas 15 persen.
Berdasarkan unit rumahnya, Iman optimis, penyaluran KPR bisa tumbuh 12 persen, dari 666 ribu unit rumah menjadi 750 ribu unit rumah. Untuk itu, BTN akan lebih menggencarkan jangkauan debiturnya. Salah satu cara dengan memperbesar pula pemberian KPR mikro, di mana plafon yang diberikan lebih kecil, namun diperkirakan bisa memperluas jangkauan kredit kepada masyarakat kecil.
"Di samping itu, BTN juga terus memberi kredit konstruksi yang akan menambah jumlah unit rumah yang akan dibangun. Mayoritas kredit konstruksi ini diberikan untuk rumah subsidi," ujar Direktur Keungan BTN Iman Soeko Nugroho.
Tak hanya menargetkan kredit tumbuh lebih baik, Iman juga berharap NPL kian aman dibandingkan kuartal III 2017 lalu sebesar 3,07 persen secara tahunan. Caranya, dengan mengantisipasi kredit yang akan macet hingga merestrukturisasi kredit yang terlanjut bermasalah.
Pemain lain, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI juga menargetkan pertumbuhan kredit di atas industri atau di kisaran 15 persen (yoy). Untuk itu, menurut Direktur Kredit Mikro dan Retail BRI Priyastomo pihaknya akan memperbesar kucuran kredit ke sektor mikro dan ritel yang menjadi fokus perseroan.
"Rencananya 80 persen (penyaluran kredit) untuk kredit mikro dan ritel. Kemarin sekitar 75 persen. Jadi yang korporasi tinggal 20 persen," ujar Priyastomo.
Ia pun merinci, pertumbuhan penyaluran kredit mikro tumbuh di rentang 15-17 persen secara tahunan, sedangkan kredit ritel tumbuh di kisaran 12-13 persen. Perusahaan pun, menurut dia, berusaha mengejar target tersebut dengan memberikan persetujuan kredit yang lebih cepat melalui sistem BRI Spot dan My BRI.
"Jadi rumusan, jaminan (kredit) langsung terekam, dan terkirim ke pemutus. Pemutus langsung tahu, langsung lakukan perhitungan dan persetujuan. Kami berusaha
one day service dan nasabah langsung dapatkan kreditnya. Itu bisa mengejar pertumbuhan kredit," jelasnya.
Selain itu, sejalan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia
(7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR), suku bunga kredit untuk nasabah dibuat lebih rendah lagi. Hal ini diharapkan bisa membuat calon debitur kian tertarik mengambil kredit dari BRI.
"Sekarang (suku bunga mikro) di rentang 20 persenan, hampir sama dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar 19 persen. Sejak September 2017, (suku bunga kredit) turun sekitar 100 basis poin," katanya.
Di sisi lain, bersamaan dengan keikutsertaan BRI pada program KUR pemerintah, Priyastomo bilang, pertumbuhan kredit juga akan ditopang oleh KUR. Tahun ini, BRI menargetkan bisa menyalurkan KUR mencapai Rp79,7 triliun atau tumbuh 14,5 persen dari realisasi penyaluran KUR pada 2017 sebanyak Rp69,6 triliun.
Lalu, untuk NPL ditargetkan lebih baik dari posisi per kuartal III 2017 sebesar 2,33 persen. Namun, ia belum memberi proyeksi target pasti NPL pada tahun ini.
(agi)