Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI membukukan laba sebesar Rp13,62 triliun hingga akhir tahun lalu. Kendati pertumbuhannya mencapai 20,1 persen kalau dibandingkan 2016 lalu, pencapaian laba perseroan meleset dari targetnya, yakni Rp14,7 triliun.
Tidak hanya itu, pertumbuhan laba bank pelat merah ini juga menunjukkan tren perlambatan. Terbukti pertumbuhan laba 2016 dibandingkan tahun sebelumnya menyentuh 25,1 persen secara tahunan.
Direktur Keuangan BNI Rico Rizal Budidarmo mengungkapkan, ada beberapa hal yang menjadi penyebab tak terealisasinya target laba yang dicanangkan perseroan. "Faktor utama persaingan dengan pasar modal, bank harus bersaing (mencari dana) dengan kompetitif," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ada pula faktor dari penurunan suku bunga secara bertahap yang dilakukan bank, sejalan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Secara rinci, pertumbuhan laba ditopang oleh pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) sebesar Rp31,94 triliun atau tumbuh 6,5 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp30 triliun. Lalu, pendapatan nonbunga sebesar Rp9,78 triliun atau tumbuh 13,9 persen dari tahun sebelumnya Rp8,59 triliun.
Sedangkan dari sisi beban operasional tercatat di angka Rp20,86 triliun atau meningkat 8,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp19,22 triliun. Dari sisi aset, tumbuh 17,6 persen menjadi Rp709,33 triliun.
Lalu, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 18,5 persen menjadi Rp516,1 triliun. Dari total DPK tersebut, sekitar 63 persennya merupakan komponen dana murah atau tabungan dan giro (Current Account Saving Account/CASA).
Direktur Hubungan Kelembagaan dan Transaksional BNI Adi Sulistyowati mengatakan, pertumbuhan DPK tak terlepas dari berbagai pelayanan yang dilakukan perbankan.
"Meliputi optimalisasi produktivitas outlet, meningkatkan fitur-fitur layanan pada e-channel, memperkuat hubungan baik dengan nasabah institusi, dan pengembangan branchless banking," tuturnya.
Kredit Melempem Sementara, dari sisi pertumbuhan kredit, emiten berkode BBNI mencatat pertumbuhan 12,2 persen. Namun demikian, realisasi itu masih lebih rendah dibanding pertumbuhan kredit pada 2016 sebesar 20,1 persen.
Rico bilang, pertumbuhan kredit tak berhasil menyentuh target lantaran perusahaan ingin lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Sebab, di sisi yang bersamaan, BNI tengah gencar memperbaiki kualitas kredit. Sehingga, penyaluran kredit baru cukup ditahan oleh perusahaan.
"Sebenarnya, kami bisa tumbuh tapi kami ingin lebih hati-hati, terutama segmen bisnis menengah dan kecil. Permintaannya ada, tapi kami perlu lihat dengan matang," terang dia.
Adapun penyaluran kredit BNI mencapai Rp441,31 triliun pada tahun lalu. Kredit ini terbagi atas kredit ke segmen bisnis banking sekitar 78,3 persen. Lalu, sekitar 16,2 persen ke segmen konsumer banking, sedangkan sisanya, 5,5 persen disalurkan ke anak-anak usahanya.
Lebih rinci, penyaluran kredit segmen bisnis banking sebesar Rp134,4 triliun atau tumbuh 14,9 persen dari tahun lalu. "Kredit sebesar Rp84,37 triliun disalurkan pada debitur BUMN. Lalu, debitur menengah dan kecil masing-masing Rp70,26 triliun dan Rp56,48 triliun," katanya.
Sedangkan kredit ke segmen bisnis konsumer diberikan ke pinjaman payroll sekitar Rp17,7 triliun atau tumbuh 47,1 persen dari tahun sebelumnya. Pinjaman payroll ini berasal dari BUMN dan institusi pemerintah.
"Sedangkan segmen konsumer banking BNI disokong oleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mencapai Rp37,07 triliun dan kartu kredit Rp11,64 triliun," imbuh Adi.
(bir)