Jakarta, CNN Indonesia -- Perjalanan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi nasional tanpa efek lingkungan melalui pengembangan energi terbarukan rupanya menemui banyak aral melintang.
Menelisik target nasional, pemerintah memimpikan porsi energi baru terbarukan (EBT) sebagai sumber energi listrik bisa mencapai 23 persen pada 2025. Namun, hingga akhir tahun lalu, porsi EBT baru mencapai 12,15 persen dari total bauran energi primer pembangkit listrik, dengan kontribusi tenaga air yang mendominasi lebih dari separuh capaian tersebut.
Dalam menapaki langkah ke depan, pemerintah menanggung beban pekerjaan rumah yang tak ringan. Selain masalah pembangunan pembangkit listrik EBT yang membutuhkan investasi yang besar, hadir pula persoalan keberlanjutan operasional pembangkit EBT, terutama yang berskala kecil.
Pada pertengahan Desember 2017 lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis hasil pemeriksaan terkait dengan Proyek Pengembangan Pembangkit Listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang tengah dikerjakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari hasil pemeriksaaan BPK ditemukan 142 proyek mangkrak dengan total nilai Rp1,17 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangan resmi yang dirilis pada Senin 18 Desember 2017 lalu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana membantah tudingan tersebut. Pasalnya, seluruh pembangunan proyek EBT telah diselesaikan.
Rida mengungkapkan, sejak tahun 2011 hingga 2017, pihaknya telah membangun 686 unit pembangkit listrik EBT dengan nilai Rp3,01 triliun, tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Namun, dari jumlah tersebut, sebanyak 126 unit kegiatan senilai Rp1,044 Triliun belum diserahterimakan ke pemerintah daerah (Pemda), dan 68 kegiatan di antaranya senilai Rp305 miliar mengalami kerusakan ringan dan berat.
Kerusakan ringan itu berupa penurunan kapasitas produksi pembangkit listrik dari daya optimumnya.
Tahun lalu, Kementerian ESDM telah menganggarkan biaya perbaikan sebesar Rp8,9 miliar. Sayangnya, kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada rekanan yang berminat untuk melaksanakan perbaikan pembangkit listrik EBT, sehingga dinyatakan gagal lelang.
Tahun ini, pemerintah mengkaji untuk melakukan kerja sama swakelola sebagai upaya perbaikan agar tidak lagi terjadi gagal lelang. Adapun anggaran untuk perbaikan naik menjadi Rp17,68 miliar.
Pengamat energi Fabby Tumiwa mengungkapkan Indonesia terjebak dalam lingkaran setan terkait upaya menjaga keberlanjutkan operasional proyek EBT, terutama proyek pembangunan hasil hibah pemerintah maupun lembaga donor kepada masyarakat daerah terpencil.
Menurut Fabby, kesalahan terjadi sejak perencanaan di mana kualitas dokumen perencanaan kurang baik. Padahal, dokumen perencanaan menjadi dasar dalam penentuan desain pembangkit dan lokasinya.
"Karena dokumen perencanaan tidak baik dalam implementasi bisa saja tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat," ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/1).
Selain itu, pengerjaan proyek biasanya diserahkan kepada pihak ketiga yang terikat masa kontrak tertentu. Akibatnya, serah terima dan transfer teknologi kepada masyarakat tidak bisa dilakukan dengan sempurna.
"Jadi, asal bangun, lalu ditinggal pergi sehingga masyarakat tidak memiliki kapasitas terkait operasional dan perawatan," ujarnya.
Kalaupun proyek tersebut diserahkan kepada pemda, menurut Fabby, seringkali pemda tidak memiliki dana untuk mengelola dan memelihara pembangkit EBT tersebut.
"Ada uang untuk membangun tetapi tidak ada dana untuk melakukan perawatan," ujarnya.
Padahal, pembangkit listrik EBT membutuhkan perawatan dan pemeliharaan. Misalnya, pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya, baterai penyimpan energi bisa saja rusak karena faktor usia.
"Begitu rusak, tidak ada dana untuk mengganti baterai tersebut, karena sistemnya sudah kurang baik lama-lama kerusakan menjadi tambah parah," ujarnya.
Proses perbaikan juga memakan waktu karena dari Pemda mungkin tidak menganggarkan biaya untuk melakukan perbaikan pada tahun anggaran berjalan.
Untuk pembangkit listrik yang nilainya besar, lebih dari Rp10 miliar, juga memiliki persoalan. Pasalnya, kata Fabby, proses serah terima harus mendapatkan persetujuan Presiden yang membutuhkan waktu lebih dari setahun.
"Bayangkan, pembangkit yang sudah dibangun, tetapi anggaran untuk mengoperasikannya tidak ada. Kemudian, mau diserahkan ke pemda tetapi harus mendapat izin Presiden yang prosesnya bisa memakan waktu dua tahun. Selama dua tahun, barang tidak ada yang jaga, tidak ada yang mengoperasikan" ujarnya.
"Ketika sudah akan diserahterimakan pemdanya juga belum tentu mau ya terima karena barangnya mungkin sudah rusak," tambahnya.
Karenanya, Fabby menilai Indonesia harus bisa keluar dari lingkaran setan tersebut mulai dari perencanaan yang terintegrasi, kejelasan soal pengelola operasional, dan ketersediaan dana untuk perawatan dan pemeliharaan.
 Foto: Thinkstock/Goce Ilustrasi pembangkit listrik tenaga air |
Kelanjutan Proyek EBTGan Gan Dirgantara, Senior Advisor insitusi pembangunan milik pemerintah Jerman The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeitan, mengungkapkan ada tiga model yang perlu diperhatikan agar keberlanjutan proyek EBT terjamin.
Pertama, terkait model bisnis, keberlanjutan proyek EBT tidak bisa hanya mengandalkan hibah atau dana APBN yang biasanya berhenti setelah konstruksi selesai. Karenanya, perlu ada model bisnis yang menjaga keberlanjutan dari proyek.
"Hal yang penting dari model bisnis adalah siapa pembeli energinya," ujarnya.
Pembeli energi bisa berasal dari PT PLN (Persero) atau on grid dan bisa berasal dari luar PLN (off grid).
Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan bayar, kesadaran membayar, dan minat membayar.
Dengan demikian, perlu dibuat model bisnis yang bisa menjamin pembeli energi bersedia membayar energi yang digunakan secara berkelanjutan.
Misalnya, meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mengembangkan industri tertentu setelah listrik masuk desa. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat bisa disisihkan untuk membayar listrik yang dipakai. Dengan demikian, investasi investor bisa kembali.
Kedua, model pengelolaan. Dalam hal ini, perlu ada suatu sistem pengelolaan yang jelas. Misalnya terkait pihak yang akan mengoperasikan pembangkit, pihak yang akan menagih pembayaran listrik, dan sebagainya.
"Katakanlah koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, atau lumbung desa. Ini perlu diperkuat karena perlu diyakinkan bahwa pengelolaanya profesional dan bertahan lama, tidak hanya satu tahun atau dua tahun," ujarnya.
Terakhir, model pembiayaan yang bisa menjawab darimana sumber pembiayaan proyek termasuk pemeliharaanya. Pembiayaan tersebut bisa berasal dari pemerintah atau investor.
Sebagian besar investor, ujar Gan Gan, pasti membutuhkan dukungan pembiayaan misalnya dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank
Sayangnya, lembaga keuangan di Indonesia belum sepenuhnya mendukung implementasi proyek EBT. Hal itu terkait dengan risiko dari proyek.
Lembaga keuangan ingin memastikan bahwa uang yang dipinjamkan bisa dikembalikan kepada investor.
"Di dalam kancah teori, lembaga finansial mendukung (pembiayaan proyek EBT) dan uang ada. Sekarang bagaimana mengkoneksikan kebutuhan pembiayaan dengan uang tadi," ujarnya.
Karenanya, perlu ada ekosistem yang memberikan kenyamanan bagi semua pihak agar mau berinvestasi. Hal itu salah satunya bisa dengan mendirikan lembaga penjamin yang memberikan dana jaminan proyek EBT.
"Jadi, ada dana penjamin yang bisa menjamin semua pihak nyaman manakala terjadi risiko di ujung. Misalnya, masyarakat tidak membayar listrik yang offgrid," jelasnya.
Proyek EBT: Investor Butuh Skema Bisnis JelasArya Witoelar, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Energi Baru Terbarukan dan Lingkungan, mengungkapkan peluang dari proyek EBT sebenarnya cukup besar di Indonesia. Bahkan, pelaku usaha bersedia masuk meskipun hanya mendapatkan untung tipis.
"Misalkan, sejumlah uang jika diinvestasikan di tempat lain mendapatkan keuntungan normal tetapi jika diinvestasikan di proyek energi baru terbarukan di Pulau Sumba untungnya sedikit sekali atau hampir nggak ada untung. Selama tidak rugi, ada saja pelaku usaha yang berinvestasi ke sana," ujar Arya.
Namun, Arya menekankan bahwa investor membutuhkan kejelasan skema yang bisa menjamin investasi yang dikeluarkan bisa terbayar.
Direktur Energi, Telekomunikasi dan Informatika Bappenas, Rachmat Mardiana mengakui masih banyaknya pekerjaan rumah pemerintah untuk membenahi masalah keberlanjutan proyek EBT.
Karenanya, pihaknya terus berkonsultasi dengan berbagai lembaga untuk mencari model terbaik sebagai upaya pemenuhan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia. Hingga akhir tahun lalu, rasio elektrifikasi Indonesia baru mencapai 94,91 persen di mana provinsi NTT dan Papua masing-masing rasio elektrifikasinya baru 60,74 persen.
Berdasarkan data tahun 2015, lebih dari 2.500 desa terpencil masih memerlukan akses listrik yang belum bisa dipenuhi oleh PLN.
"Itu yang menjadi PR dari pemerintah bagaimana itu dilistriki sehingga mekanisme pendanaan pelaksanaan mungkin PPP (Public Private Partnership) juga dimungkinkan untuk memfasilitasi penerangan desa yang belum dilistriki tadi," ujar Rachmat.
Salah satu contoh pembentukan ekosistem pembangkit listik EBT di daerah terpencil adalah di Pulau Sumba. Pembentukan ekosistem tersebut merupakan bagian dari proyek Terang yang dilakukan oleh organisasi pembangunan internasional humanis, Hivos dibantu oleh pendanaan hibah dari program Millenium Challenge Account- Indonesia (MCA-I) dan berbagai mitra.
Program Coordinator Hivos Robert de Groot mengungkapkan, pada akhir 2017, program Terang sudah berhasil menyediakan akses listrik bagi 26 kabupaten di NTT, NTB, dan Sulawesi Selatan.
Melalui proyek ini, sebanyak 25 sekolah memiliki sumber listrik dari energi terbarukan, 60,68 KW tenaga listrik dihasilkan dari PV Solar, dan rasio elektrifikasi di Pulau Ikonik Sumba di NTT meningkat dari 24,5 persen pada tahun 2010 menjadi 42,67 persen di 2017.
Untuk menjaga keberlangsungannya, sejak masa perencanaan instalasi proyek, pihaknya telah mengajak keterlibatan masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki pembangkit listrik EBT yang ada di wilayahnya.
Selain itu, pendekatan kepada masyarakat juga mengusung semangat perbaikan taraf hidup dan perekonomian masyarakat. Misalnya, dengan adanya listrik masyarakat Sumba bisa memanfaatkan lentera untuk kegiatan ekonomi produktif di malam hari seperti mengupas kemiri, menenun, menganyam, pengemasan hasil kebun, bengkel, pembuatan kue, dan menjahit. Pendapatan yang diperoleh masyarakat sebagian kecilnya bisa disisihkan untuk membayar operasional pembangkit listrik.
Sebagai contoh, organisasi membangun instalasi 30 kios stasiun pengisian ulang tenaga surya dan penyewaan dua ribu lentera PV di Sumba. Selain itu, juga dibangun 25 sistem PV surya dan stasiun pengisian ulang daya untuk sekolah.
"Sekolah itu bisa menggunakan listrik untuk kegiatan pembelajaran dan menyediakan panel untuk mengisi ulang lampu yang bisa digunakan di rumah. Setiap kali mengisi ulang, harus membayar," ujar de Groot.
(lav)