Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan meminta lembaga jasa keuangan berbasis teknologi atau
financial technology (Fintech) yang melakukan skema pembiayaan rekanan atau
peer to peer lending (P2L) lebih transparan ihwal skema bisnisnya kepada konsumen. Sebab, risiko pembiayaan melalui P2L ini cukup besar dibanding jasa keuangan konvensional.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, perusahaan fintech P2L harus memberikan banyak informasi sebelum konsumen menggunakannya. Apalagi sejauh ini, belum ada aturan mengenai batas tertinggi bunga kredit dari aktivitas P2L.
Informasi pertama yang perlu diberikan ke nasabah, lanjut dia, adalah penilaian kredit. Perusahaan
fintech harus berani meyakinkan konsumen bahwa mereka memiliki potensi kredit macet yang minim. Ini bisa menjadi rawan mengingat
fintech dan konsumen tidak pernah tatap muka untuk melakukan perizinan kredit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika terjadi kredit macet, maka poin kedua yang perlu dijelaskan ke nasabah adalah proteksi pinjaman. Jangan sampai konsumen merasa dibohongi jika nantinya perusahaan
fintech tak wanti-wanti mengenai ada atau tidaknya pengamanan terhadap kredit macet. Penyampaian kedua poin ini dianggap memberi manfaat baik kepada perusahaan maupun nasabah.
“Sehingga masyarakat memang perlu dilindungi. Dalam bentuk apa, dalam bentuk transparansi. Kalau masyarakat sudah tahu risikonya, tapi tetap menggunakan jasa tersebut ya silahkan,” ujar Wimboh, Kamis (25/1).
Otoritas keuangan berencana menerbitkan surat edaran agar transparansi bisa dijalankan seluruh
fintech P2L. Namun, ia tidak menjelaskan perihal surat edaran ini perlu menunggu penerbitan peraturan OJK terbaru mengenai aturan main
fintech pada kuartal I 2018 yang rencananya melengkapi POJK Nomor 77 Tahun 2016.
“Bisa saja (kami berikan surat edaran lagi), nanti kami akan perjelas,” ungkap dia.
Ia juga mengatakan, perlindungan konsumen akan aktivitas ini lebih penting ketimbang pertumbuhan industri jasa fintech P2L sendiri. “Itu lebih penting, kalau jasa penyedianya itu kan hanya menyediakan
platform dan informasi, sementara yang bertanggungjawab kalau nasabah default ya kan itu risiko pemberi pinjamannya sendiri,” papar dia.
Berdasarkan data per Desember 2017, OJK mencatat, ada sekitar 27 fintech P2L yang telah mendaftar dan diberikan izin beroperasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 26 fintech berada di DKI Jakarta dan satu di Surabaya. Sedangkan dari sisi kepemilikan, sebanyak 19
fintech milik lokal dan 8 sisanya milik asing.
Selain 27
fintech itu, OJK menyebut ada sekitar 32 fintech yang tengah diproses pendaftarannya dan 8
fintech lain baru mau mendaftar. Namun, secara total, pembiayaan dari seluruh
fintech yang ada di Indonesia telah mencapai 2,26 triliun yang diberikan ke 290.335 debitur per November 2017.
(lav)