Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) berencana mengucurkan investasi mencapai US$5,59 miliar pada 2018 atau melonjak 54,8 persen dari realisasi investasi tahun lalu yang sebesar US$3,61 miliar. Sebagian besar investasi akan dialokasikan untuk pengembangan di sektor hulu.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina Gigih Prakoso mengungkapkan, sebanyak 59 persen dana investasi akan mengalir di antaranya untuk ekspansi di sektor hulu, seperti pengembangan lapangan Jembaran Tiung Biru, alih kelola Blok Mahakam, dan pengembangan pembangkit panas bumi.
Selain itu, investasi untuk pengolahan dan pemasaran masing-masing mendapat jatah 15 persen. Khusus pengolahan, perusahaan akan menggunakannya untuk peningkatan fleksibilitas minyak mentah kilang dan pengembangan produk turunan. Selain itu, investasi pemasaran dilakukan untuk penguatan infrastruktur pasokan dan distribusi, serta peremajaan kapal.
"Investasi hulu proyek prioritas pengembangan Jambaran Tiung Biru, blok mahakam dan pengembangan geothermal," ujar gigih Prakoso, Senin (29/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepanjang tahun lalu, perseroan juga mengucurkan investasi sebesar US$3,61 miliar atau tumbuh 37 persen dibandingkan tahun 2016.
Lebih dari separuh investasi tersebut, US$2,51 miliar, dialokasikan untuk investasi di sektor hulu. Kemudian, US$415 juta untuk megaproyek pengolahan dan petrokimia, US$26 juta untuk pengolahan, US$389 juta untuk pemasaran, US$149 juta untuk gas, US$120 juta untuk lain-lain.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengungkapkan, perusahaan menghadapi hambatan dalam melakukan investasi. Pertama, keterbatasan pendanaan yaitu hanya berkisar US$5 miliar hingga US$6 miliar per tahun. Untuk itu, pihaknya bermitra dengan pihak yang memiliki kapasitas investasi lebih besar maupun bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
Selain itu, masih banyak hambatan di bidang regulasi karenanya perseroan terus berkomunikasi dengan regulator untuk mendukung investasi. Terlebih, investasi di sektor migas merupakan investasi yang berisiko tinggi.
Kemudian, pihaknya juga melakukan kerja sama di bidang teknologi untuk efisien pendanaan. Perseroan juga masih perlu meningkatkan kapasitas manajemen proyek.
Laba 2017 TergerusBerdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit, Pertamina tercatat mencetak laba bersih sebesar US$2,41 miliar sepanjang tahun 2017 atau tergerus 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, US$3,15 miliar. Padahal tahun lalu, laba perseroan masih bisa tumbuh 122 persen.
Elia mengungkapkan penurunan laba disebabkan oleh naiknya beban produksi seiring tren kenaikan harga minyak dunia. Di saat bersamaan, pemerintah menahan harga bahan bakar penugasan jenis premium dan solar.
"Memang belum ada kebijakan penyesuaian harga produk premium dan solar yang ada di Indonesia," ujar Elia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senin (29/1).
Beban produksi dan biaya operasional tercatat melonjak 26 persen secara tahunan menjadi US$38,02 miliar.
Kendati demikian, di sisi pendapatan, perseroan berhasil meraup US$42,86 miliar atau tumbuh 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya, US$36,49 miliar. Elia mengingatkan, realiasi tersebut belum diaudit, sehingga ada kemungkinan akan berubah.
"Laporan resmi
audited akan keluar di 14 Februari 2018," ujarnya.
(lav)