ANALISIS

Mengurai Aturan Daerah Demi Investasi Lebih Bergairah

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 24 Jan 2018 13:32 WIB
Presiden Joko Widodo kembali geram melihat pemda masih memberlakukan aturan yang menghambat investasi, di tengah berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pusat.
Presiden Joko Widodo kembali geram melihat pemda masih memberlakukan aturan yang menghambat investasi, di tengah berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pusat. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo kembali geram. Ia gerah melihat pemerintah daerah (pemda) masih memberlakukan peraturan daerah (perda) yang menghambat investasi. Bukan tanpa alasan, menurut dia, banyak investor yang menyalahkan regulasi daerah sebagai biang kerok lambatnya realisasi investasi di Indonesia.

Jokowi menuturkan, Perda bermasalah ini telah memupuskan harapan pemerintah dalam mempermudah investasi. Sebagai contoh, pemerintah pusat telah berjibaku dalam menyederhanakan izin investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang dicetuskan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tiga tahun silam.

Sayangnya, regulasi di daerah ini ternyata masih tak bisa akur dengan kebijakan pemerintah pusat. Pasalnya, dengan Perda yang bejibun, durasi perizinan investasi jadi ikut melar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mencontohkan, proses izin investasi listrik di BKPM hanya memakan waktu 19 hari di BKPM, tetapi ternyata membutuhkan waktu 775 hari di daerah. Tak hanya itu, ia juga mencontoh perizinan investasi pertanian yang juga memakan 19 hari di BKPM, tapi butuh 726 hari di daerah.

Saking sebalnya, Jokowi meminta Pemda untuk tidak menerbitkan lagi Perda yang sekiranya bisa menghambat investasi.

“Alasan nomor satu (hambatan investasi) ya regulasi. Kebanyakan aturan, kebanyakan perizinan yang masih berbelit-belit. Saya titip Gubernur, jangan buat Perda lagi yang menambah ruwet. Apalagi Perda yang orientasi proyek,” ujar Jokowi.

Keinginan Jokowi pun bukan tanpa alasan. Jokowi ingin agar peringkat indeks kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia bisa menembus posisi 40 besar di tahun depan.

Menurut Jokowi, kenaikan peringkat ini bukan sekadar gagah-gagahan semata. Pertumbuhan investasi Indonesia sudah kalah jauh dibanding negara-negara tetangga lainnya. Ini menunjukkan daya saing Indonesia yang cukup lemah selama ini.

Dengan realisasi investasi sebesar Rp513,2 triliun antara Januari hingga September tahun lalu, Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 13,2 persen secara tahunan (year on year/yoy). Jokowi bilang, angka ini masih kalah kecil dibanding Filipina yang naik 38 persen atau Malaysia yang naik sampai 51 persen di periode yang sama.

“Kebanyakan, persyaratan dari daerah ini lambat laun berubah menjadi izin. Kalau ini diteruskan, jangan harap pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik,” tegas Jokowi.
Target RPJMN dan Realisasi Indikator Ekonomi. (Indonesia/Timothy Loen)
Di sisi lain, Pemda tak mau disalahkan begitu saja. Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengatakan, seluruh Perda pasti didasarkan pada peraturan yang berlaku di atasnya seperti Undang-Undang (UU) hingga Peraturan Menteri. Ia pun berani menjamin bahwa tidak ada Perda yang berlawanan dengan kepentingan pemerintah pusat.

Selain itu, menurut pengalamannya, ada kalanya perizinan di tingkat daerah sudah cepat, tetapi perizinan di tingkat Kementerian malah memakan waktu yang cukup lama.

“Kalau Gubernur mau cepat, tapi di Kementerian lambat kan ya tidak ada bedanya,” ungkap Syahrul.

Senada, Gubernur Papua Lukas Enembe tidak sepakat bahwa Perda selalu menjadi kambing hitam dalam mencerna lambatnya realisasi investasi. Ia menuturkan, Perda yang diatur oleh pemerintahannya pasti berdasar pada peraturan yang diatur oleh pusat.

Adapun menurut dia, lambannya realisasi investasi di Provinsi Papua justru berakar pada pembebasan lahan. Pasalnya, sebagian besar lahan yang ingin digunakan oleh calon investor merupakan tanah ulayat, sehingga butuh waktu lama bagi penanam modal hanya untuk membebaskan lahan saja.

“Papua ini sebetulnya kaya, hanya banyak investor yang tidak berani maju ke daerah kami karena masalah lahan, tanah ini kepemilikan masyarakat adat. Ini faktor utama yang menghambat investasi kami,” papar dia.

Maka dari itu, menurut dia, tak heran jika investor yang berani masuk ke Papua adalah perusahaan yang memang memiliki modal besar dan tahan untuk menyelesaikan pembebasan lahan yang memakan waktu lama. “Sampai sejauh ini, memang belum ada investor yang bersedia masuk, seperti PT Freeport Indonesia,” pungkas dia.

Pemda boleh jadi punya segudang alasan agar tidak menjadikan Perda sebagai pembendung investasi. Namun, bagaimana pun kepala daerah berkelit, regulasi masih tetap dianggap momok bagi investasi.

Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah yang dihimpun Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2016 silam menyebutkan, sebanyak 50,12 persen dari 299 Perda yang berkaitan dengan investasi terbilang bermasalah pada level substansi. Adapun, peraturan ini terdiri dari perda dan peraturan walikota (perwal) yang berlaku di 32 provinsi.

Laporan tersebut juga mengatakan, banyaknya peraturan daerah bersifat nonpungutan yang terbit antara tahun 2002 hingga 2009 membuat ketidakpastian standar waktu dan prosedur bagi pelaku usaha. Ini lantaran Perda yang diterbitkan Pemda tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku setelahnya, yakni UU Nomor 28 Tahun 2009. Tak hanya itu, banyaknya ketentuan Pemda ternyata bermuara pada pungutan berganda.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endy Jaweng menyebut, tingginya ongkos penanaman modal ini kadang berasal dari aturan daerah terkait pajak daerah dan retribusi. Sebagai contoh, menurut penemuan timnya, ada satu daerah yang menerapkan Perda pajak penerangan jalan dengan pungutan Rp72 miliar per tahunnya. Lalu, ada juga satu perusahaan yang dicekoki lima pajak provinsi dan 11 pajak kabupaten, sehingga investor pun pikir-pikir ulang untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.

“Problem terbesar perizinan usaha ini adalah Perda. Regulasi memang menjadi masalah yang sangat menakutkan di daerah. Maka dari itu, semangat deregulasi itu sangat penting,” tukas dia.

Bicara soal deregulasi, pemerintah sebetulnya sudah berminat untuk memangkas beberapa peraturan daerah yang menghambat investasi. Bahkan, ini menjadi poin penting dari kebijakan ekonomi jilid I yang digaungkan pemerintah hampir 2,5 tahun silam.

Kala itu, pemerintah sudah berencana membatalkan 3.143 peraturan daerah yang dianggap menghambat daya saing nasional. Sayang, pada Juni tahun lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menganulir kewenangan pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan daerah.

Dengan terbitnya putusan ini, maka harapan untuk deregulasi sebetulnya bisa dibilang hampir pupus.

Memangkas Perda

Ibarat cahaya di ujung lorong, tentu saja masih ada asa agar Perda yang disinyalir menghambat investasi ini bisa enyah dengan mudah.

Pertama, Robert bilang, pelaku usaha atau masyarakat yang merasa dirugikan akibat perda tersebut harus aktif mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Pasalnya, lembaga tata negara tersebut tentu tak bisa memproses penganuliran sebuah beleid jika tak ada gugatan dari pihak yang dirugikan.

Pemerintah dan KPPOD, lanjutnya, tentu tak bisa mengajukan gugatan karena tak memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan hukum (legal standing). “Maka dari itu, pelaku usaha tentu harus ikut aktif,” ungkap Robert.

Kedua, Kementerian Dalam Negeri juga harus bisa membendung calon-calon perda yang sekiranya bisa menghambat investasi. Layaknya kata pepatah tua, mencegah tentu lebih baik dibanding mengobati.

“Kemendagri harus benar-benar evaluasi Perda. Kalau dinyatakan clean and clear, maka perda tersebut diberikan nomor register. Kalau tidak sesuai semangat pemerintah pusat, tak usah diberikan,” lanjut dia.

Menurutnya, membatalkan perda memang harus disikapi dengan cerdik. Jangan seperti deregulasi kemarin, di mana pemerintah pusat masih dianggap setengah hati dalam membatalkan beberapa perda.

Ia bilang, kala itu, pemerintah pusat masih belum bisa menjamin bahwa Surat Keputusan (SK) pembatalan 3 ribu lebih perda sudah tersaji di masing-masing meja Pemda. Bahkan, setelah SK tersebut keluar, pemda dan DPRD harus melaksanakan sidang agar mencabut dan membatalkan perda bermasalah tersebut.

“Perda ini hukum positif, tidak bisa ketika diumumkan Presiden, lalu seluruh perda batal semuanya,” jelas dia.

Kendati begitu, nampaknya pemerintah akan menggunakan metode lain agar perda tak jadi duri bagi investasi di daerah. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 91 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, pemerintah berupaya untuk memasukkan segala izin investasi ke dalam sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission) yang diberlakukan April mendatang.

Sebagai ancang-ancang, pemerintah telah meminta Pemda untuk membentuk satuan tugas (satgas) agar perizinan usaha bisa semakin cepat. Jika ada Pemda yang kedapatan tidak menindaklanjuti percepatan investasi atau gagal melaksanakan program single submission ini, maka pemerintah pusat siap mengenakan sanksi fiskal maupun sanksi administratif.

“Disinsentif ini yang mungkin perlu, artinya sanksinya itu yang sedang dirumuskan hitung-hitungannya,” ujar Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER