Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia merosot hingga mencapai level terendah bulanan pada perdagangan Rabu (7/2) waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu menyusul dirilisnya data lonjakan persediaan minyak mentah AS. Terlebih, produksi AS saat ini juga mengalami peningkatan.
Kondisi demikian menimbulkan kekhawatiran bakal lebih banyak aksi jual dari para spekulan yang bertaruh dalam jumlah besar di tengah momentum tren kenaikan harga minyak mentah.
Dilansir dari
Reuters, Kamis(8/2), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) turun US$1,6 atau 2,5 persen menjadi US$61,79 per barel dalam empat sesi perdagangan berturut-turut. Harga WTI terus menurun hingga enam persen kala itu. Harga WTI sempat menyentuh level US$61,33, terendah sejak 5 Januari 2018.
Dari sisi volume, perdagangan minyak WTI cukup besar dengan lebih dari 957 ribu kontrak berjangka minyak mentah yang diperdagangakan awal bulan, jauh di atas rata-rata 634 ribu kontrak yang diperdagangkan dalam 200 hari terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, harga minyak mentah Brent tergelincir US$1,35 atau 2 persen menjadi US$65,51 per barel.
Berdasarkan data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) stok minyak mentah AS naik 1,9 juta barel pekan lalu. Peningkatan tersebut lebih rendah dari perkiraan, sebagian disebabkan oleh peningkatan aktifitas kilang untuk mendongkrak persedian bahan bakar yang secara musiman pertumbuhannya melambat.
Kendati demikian, produksi minyak mentah AS juga tejadi kenaikan, menembus 10,25 juta barel per hari (bph).
"Produksi minyak mentah mingguan AS tercatat 10,25 juta bph dalam laporan hari ini telah membuat pasar tidak tenang, efeknya terwujud pada harga minyak melemah," ujar Analis Energi Senior Interfax Global Gas Abhisek Kumar di London.
Kenaikan aktivitas pengeboran kilang baru-baru ini mendongkrak produksi setelah harga berjangka memperpanjang reli kenaikan hingga mencapai level tertinggi dalam tiga tahun ini.
Analis menyatakan produksi yang semakin banyak dapat menyeret harga dengan memperhatikan proyeksi resmi pemerintah atas kenaikan produksi minyak AS baru-baru ini ditingkatkan.
Menajer investasi dan para spekulan lain telah mencatatkan posisi beli (long) pada minyak mentah berjangka pada akhir Januari. Posisi tersebut telah dipangkas, namun tetap berperan besar untuk mengerek harga minyak.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan negara produsen minyak lain, termasuk Rusia, telah memangkas produksinya sejak Januari 2017 untuk menekan persediaan minyak global. Pemangkasan ini secara kebetulan diimbangi oleh kenaikan produksi minyak AS, dengan kenaikan lebih dari satu juta bph pada tahun lalu.
"Sentimen kenaikan harga (bullish) yang berasal dari pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan keresahan kondisi geopolitik memudar secara perlahan seiring pasar mulai menyadari kenaikan produksi minyak AS yang melampaui 10 juta bph, yang juga membuat Arab Saudi dan Rusia berisiko kehilangan pangsa pasar lebih besar," tulis komentar tertulis analis Drillinginfo.com.
EIA memperkirakan produksi minyak AS rata-rata mencapai 10,59 juta bph pada 2018 dan 11,18 juta bph pada 2019,lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Kondisi tersebut akan mendorong ekspor AS dan membuat produksi minyak AS berpotensi menyalip produksi Rusia yang saat ini merupakan produsen minyak mentah terbesar di dunia.
(lav)