Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah hingga kini belum memenuhi mandat Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mengamanatkan penyelenggaraan program penjaminan polis. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, program penjaminan asuransi seharusnya diatur dengan Undang-Undang yang dibentuk paling lambat Oktober 2017 lalu.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menjelaskan, pembentukan LPP merupakan amanat UU perasuransian, yang mandat pembentukannya paling lambat 3 tahun setelah aturan tersebut diundangkan. UU perasuransian sendiri diundangkan pada 17 Oktober 2014.
"LPP adalah keniscyaan. Terlebih, dengan UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang ada saat ini, tidak ada lagi fasilitas
bail out atau dana talangan, sehingga LPP sangat
urgent (mendesak)," ujar Irvan kepada CNNIndonesia.com, Senin (12/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Irvan menuturkan, LPP seharusnya berfungsi untuk menggantikan dana pemegang polis bila perusahaan asuransi mengalami gagal bayar. Ia menilai, pembentukan LPP penting ditengah banyaknya perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dan dipailitkan oleh regulator, sehingga membuat nasib nasabah menjadi tidak jelas.
"Urgensinya adalah ada sekian banyak perusahaan asuransi yang sudah dicabut izin usahanya dan dipailitkan regulator tidak ada kejelasan nasib dana nasabah. Asuransi Jiwa Pura Nusantara, Bakrie Life, Bumi Asih Jaya, MAA Life Assurance dan masih banyak perusahaan asuransi yang bermasalah dan tinggal menunggu kematian formalnya," terang Irvan.
Salah satu yang paling fenomenal, menurut Irvan, adalah
AJB Bumiputera yang tengah mengalami kegagalan skema restrukturisasi yang dilakukan OJK akibat mengabaikan hak pemegang polis. Dalam bentuk asuransi jiwa bersama, pemilik perusahaan seharusnya adalah pemegang polis.
"Yang dilakukan OJK, mengabaikan hukum berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat dan dapat berujung pada serbuan penebusan polis, sehingga LPP adalah keniscayaan," imbuh dia.
Menurut dia, LPP sangat penting untuk dibentuk. Terlebih, saat ini, UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), tak ada lagi fasilitas dana talangan untuk perusahaan keuangan.
Adopsi ke LPS
Untuk mempercepat pelaksanaan program penjaminan tersebut, Irvan pun menyarankan, agar pemerintah dan OJK mengadopsi LPP ke dalam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang saat ini bertugas menjadi penjamin simpanan bank. Adopsi LPP ke dalam LPS dapat dilakukan dengan merevisi UU LPS.
"Ini bisa dilakukan, terlebih karena hingga saat ini tidak ada indikasi penyusuanan UU LPP untuk masuk dalam program legislasi nasional DPR 2018. Terlebih dengan kesibukan semua partai di tahun politik 2018 dengan Pilkada dan Pileg/Pilpres 2019," tegas dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengaku, pihaknya siap jika memang dimandatkan untuk ikut menjamin asuransi. Namun, Halim mengaku, hingga kini belum ada kejelasan soal regulasi terkait program penjaminan polis tersebut.
"Tentu kami siap kalau ditugaskan. Tapi, agar efektif, perlu ada penguatan lebih dahulu di sisi regulasi dan pengawasan, baru bisa bicara soal penjaminan. Penjaminan ini di ujung, kalau tidak ada penguatan itu, kasihan nanti yang diujung," ungkap Halim.
Adapun saat ini, menurut Halim penjaminan polis masih jauh panggang dari api. Pasalnya, UU program penjaminan polis saat ini masih dalam tahap pembentukan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) di bawah pemerintah.
"Sampai saat ini, levelnya masih di pembentukan draf RUU, yang masih ada di pemerintah," tutur dia.
Kendati OJK merupakan otoritas pengawas industri asuransi, Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi juga menyerahkan sepenuhnya kewenangan mandat UU perasuransian tersebut pada pemerintah. Ia menekankan, pembentukan LPP bukan merupakan kewenangan OJK.
"Nanti akan diproses (LPP). Tapi yang pasti, ini bukan kewenangan OJK. Kami upayakan yang terbaik bagi pemegang polis," kata Riswanandi.
Sementara itu, CNNIndonesia.com telah menghubungi Kementerian Keuangan perumus kebijakan Undang-Undang di bidang keuangan, guna mengklarifikasi kelalaian menjalankan amanat UU perasuransian tersebut. Namun, hingga kini, belum ada jawaban dari Kementerian Keuangan.
(bir)