Jakarta, CNN Indonesia -- Direksi dan komisaris
Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 disebut masih mengantongi gaji, meski perannya sedang nonaktif dan digantikan oleh pengelola statuter. Padahal, perusahaan asuransi jiwa yang berbentuk badan usaha bersama (mutual) tersebut tengah terhimpit masalah keuangan.
Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil alih AJB Bumiputera dalam rangka restrukturisasi dengan menunjuk pengelola statuter. Saat itu, perusahaan memiliki kewajiban yang lebih besar dibandingkan asetnya, bahkan mencapai lebih dari Rp10 triliun.
Walhasil, upaya penyelamatan ditempuh. Direksi dan komisaris di-nonaktifkan. Sesuai Pasal 4 POJK Nomor 41/POJK.05/2015 terkait Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal itu menyebutkan bahwa direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif berhak memperoleh remunerasi yang besarannya ditetapkan oleh RUPS dengan mempertimbangkan kondisi keuangan lembaga jasa keuangan, paling tinggi 50 persen dari remunerasi yang diterima sebelum di-nonaktifkan.
"Sesuai POJK 41, direksi masih digaji. Namun, dua di antaranya kan diangkat menjadi pengelola statuter. Otomatis, terima honornya lebih besar. Ini tentu menambah beban perusahaan," ujar salah satu sumber CNNIndonesia di tingkat manajemen perusahaan, Selasa (13/2).
Disebut menambah beban perusahaan lantaran sejak upaya restrukturisasi melalui pembentukan PT Asuransi Jiwa Bumiputera (PT AJB), sekarang bernama PT Asuransi Jiwa Bhinneka (Bhinneka Life), AJB Bumiputera masih belum menerbitkan polis baru.
Artinya, perusahaan hanya menerima premi lanjutan dari polis lama dan membayarkan klaim. Sementara, pendapatan premi (premi lanjutan) tahun lalu cuma Rp1 triliun.
Di satu sisi, upaya penyelamatan gagal, PT AJB cuma bisa mendapatkan premi Rp700 miliar tahun lalu.
Menurut Badan Perwakilan Anggota Sumatra Utara Ibnu, pemberian gaji kepada direksi nonaktif tidak menyalahi aturan. "
Toh, ada payung hukumnya. Mau digaji 50 persen kek, 60 persen, 70 persen. Itu tidak menyalahi aturan. Aturannya bilang seperti itu," tegas Ibnu.
(bir)