Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai kebijakan penghentian sementara (moratorium) pembangunan proyek infrastruktur pemerintah terlambat dilakukan. Akibatnya, korban kecelakaan menjadi semakin banyak.
Terakhir, cetakan beton Tol Bekasi, Cawang, Kampung Melayu (Becakayu) ambruk di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, dekat Gardu Tol Kebon Nanas, pada Selasa (20/2) dini hari. Atas kejadian itu, enam orang mengalami luka ringan dan dilarikan ke RS UKI Cawang, sedangkan seorang lain mengalami luka berat dan dibawa ke RS Polri Kramatjati.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengungkapkan, pada 6 Februari lalu, tak lama setelah kejadian ambruknya perimeter
underpass Bandara Soekarno-Hatta yang memakan satu korban jiwa, pihaknya telah meminta pemerintah untuk melakukan moratorium.
Pada 20 Februari lalu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan pemerintah akan mengevaluasi proyek infrastruktur layang (
elevated) di seluruh Indonesia menyusul ambruknya bagian pencetakan beton pada tiang pancang Tol Becakayu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencananya, proyek-proyek tersebut akan dievaluasi secara menyeluruh, mulai dari desain, standar operasional prosedur (Standard Operational Procedure/SOP), metodologi kerja, sumber daya manusia (SDM), peralatan proyek, termasuk pengawas proyeknya. Selama proses evaluasi berlangsung praktis kegiatan konstruksi terhenti.
"Menteri PUPR sudah benar melakukan moratorium, tetapi sudah terlambat," ujar Azam dalam acara diskusi "Proyek Infrastruktur: Antara Percepatan dan Pertaruhan di Jakarta, Sabtu (24/2).
Hingga kini, lanjut Azam, sudah ada 14 kecelakaan kerja yang berkaitan dengan proyek infrastruktur sejak pertengahan 2017. Kecelakaan kerja tersebut disebabkan oleh kesalahan teknis dan lemahnya pengawasan. Hal ini, menurut Azam, sebenarnya telah bisa diprediksi mengingat Indonesia belum memiliki pengalaman untuk membangun proyek infrastruktur dalam skala besar dan masih memiliki keterbatasan dalam hal SDM.
Karenanya, pemerintah perlu melakukan moratorium setidaknya hingga seluruh prosedur telah dipastikan berjalan dengan benar.
Azam menyadari jika moratorium dilakukan terlalu lama maka ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan pelaksana proyek. Namun, Azam mengingatkan, lebih baik biaya tersebut ditanggung sekarang daripada fasilitas infrastruktur memakan korban saat digunakan.
Ke depan, jika kejadian serupa terjadi kembali, ia bakal menggalang dukungan untuk menggunakan hak-hak anggota DPR kepada pemerintah mulai dari hak interpelasi, angket, hingga menyatakan pendapat.
"Kami bisa menggunakan hak-hak itu. Kecuali kalau sebelumnya DPR belum mengingatkan," ujarnya.
Sementara itu, di acara yang sama, Guru Besar Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan Manlian Ronald Simanjuntak mengingatkan, pemerintah harus benar-benar memilah mana proyek yang perlu dimoratorium dan yang bisa dilanjutkan pengerjaannya. Selain itu, juga harus jelas berapa lama suatu proyek akan dimoratorium. Pasalnya, moratorium memakan biaya yang besar mulai dari biaya investasi hingga biaya tetap lainnya.
"Selama moratorium, pengeluaran biaya tetap berjalan, kerugian terus berjalan, karena ada biaya-biaya yang harus dibayarkan," ujarnya.
(stu)