Pembiayaan Bank Muamalat Bagai Duri Dalam Daging

Safyra Primadhyta & Agustiyanti | CNN Indonesia
Jumat, 02 Mar 2018 08:37 WIB
Alarm rasio pembiayaan macet Bank Muamalat berbunyi kencang. Puncaknya, pada 2015, rasio pembiayaan macetnya mencapai 7,11 persen.
Alarm rasio pembiayaan macet Bank Muamalat berbunyi kencang. Puncaknya, pada 2015, rasio pembiayaan macetnya mencapai 7,11 persen. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Muamalat Indonesia Tbk seperti halnya perbankan umum, memiliki kegiatan utama menyalurkan pembiayaan. Permasalahannya, pembiayaan yang disalurkan tidak kembali lancar ke kantong perusahaan. Akibatnya, rasio pembiayaan bermasalah meningkat.

Kondisi pembiayaan macet (non performing finance/NPF) juga dialami bank-bank syariah lain. Pada 2016 lalu, rata-rata rasio pembiayaan macet bank syariah mencapai 5,68 persen atawa di atas ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalihnya, harga komoditas rontok dan lesunya sektor riil. Maklumlah, banyak bank syariah bertumpu pada sektor riil ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alarm NPF Bank Muamalat yang sudah menyala sejak 2013 pun berbunyi semakin kencang. Bahkan, pada 2015 NPF perusahaan menyentuh level tertingginya, yaitu 7,11 persen dengan nominal Rp2,89 triliun.


Perusahaan terpaksa merogoh kocek dalam-dalam untuk mengobati pembiayaan macetnya. Saat itu, perusahaan mengeluarkan Rp303 miliar untuk melakukan hapus buku (write off). Kemudian, demi menurunkan pembiayaan macet yang tersisa, perusahaan kembali merogoh kocek hingga Rp683 miliar untuk hapus buku di 2016 lalu.

Seketika pembiayaan macet Bank Muamalat menciut menjadi hanya Rp1,14 triliun. Namun, efek samping aksi hapus buku tersebut meninggalkan persoalan bar, yaitu, permodalan cekak.

Berdasarkan laporan keuangan September 2017, rasio pembiayaan macet perusahaan kumat menjadi 4,54 persen. Di sisi lain, rasio kecukupan modalnya tercatat turun menjadi 11,58 persen.

Sumber CNNIndonesia.com menyebut, permasalahan NPF pada Bank Muamalat tak hanya disebabkan imbas dari anjloknya harga komoditas dan melemahnyq sektor riil. Pengelolaan bank yang kurang hati-hati juga menjadi penyebab.


Sebagai bank tertua di Indonesia, masih menurut sumber tersebut, Bank Muamalat sering kali ingin menjadi yang terdepan dalam mengembangkan produk. Walhasil, produk-produk yang diterbitkan cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan bank syariah lainnya. Sayangnya, manajemen lengah dalam mengelola risiko produk.

Salah satu contoh produk yang memiliki risiko relatif tinggi adalah produk pembiayaan mudharabah muthlaqoh. Mudharabah muthlaqoh adalah pembiayaan dengan skema bagi hasil, di mana cakupan kegiatan usahanya tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.

Pada 2016, perusahaan mulai mengurangi produk pembiayaan mudharabah-nya. Penyaluran pembiayaan mudharabah tercatat turun 24,56 persen dari Rp1,05 triliun pada 2015 menjadi Rp794 miliar.

Dalam laporan keuangannya, manajemen menyebut, pengurangan portofolio dilakukan guna menjaga kualitas pembiayaan perseroan. Namun, pada September 2017 lalu, pembiayaan mudharabah perusahaan malah tercatat kembali meningkat mencapai Rp853 miliar.


Tingginya rasio pembiayaan macet yang berdampak pada menipisnya kantong permodalan perseroan pun membuat OJK gerah. Wasit industri keuangan itu mengaku sudah meminta pemegang saham pengendali (PSP) Bank Muamalat untuk menyuntikkan permodalan.

"Ada radang-radang sedikit. NPF-nya sudah melebih treshold (batas aman), jadi ya kami minta (Bank Muamalat) menambah modal," ungkap Wimboh, belum lama ini.

Menanggapi permintaan OJK, Direktur Utama Bank Muamalat Achmad Permana mengaku, penambahan modal menjadi salah satu fokus perseroan dalam jangka pendek. Tambahan permodalan dibutuhkan guna melakukan ekspansi dan menurunkan NPF perseroan.

"Hapus buku (pembiayaan macet) akan sangat bergantung pada berapa modal yang kami miliki dan apakah investor mendukung. Kalau oke, tentu hapus buku bisa kami lakukan," terang Permana.


Penambahan modal, sambung dia, terutama dibutuhkan untuk mendorong pembiayaan. Dengan begitu, rasio NPF dapat berangsur turun, seiring total pembiayaan yang menjadi pembilang perhitungan rasio NPF meningkat.

Permana menjelaskan, salah satu penyebab utama meningkatnya rasio pembiayaan macet perusahaan pada tahun lalu adalah tidak bertumbuhnya penyaluran pembiayaan. Hingga September 2017, total pembiayaan bank syariah tersebut mencapai Rp40,99 triliun, cuma naik tipis dibanding posisi akhir 2016 sebesar Rp40,01 triliun.

"NPF komponennya ada dua, yakni pembilangnya kredit bermasalah dan penyebut total pembiayaan. Jadi, ketika bank tidak melakukan ekspansi pembiayaan, rasio NPF-nya akan meningkat. Saat ini, kami ada pembayaran (run off) angsuran Rp1 triliun per bulan, tetapi tak banyak pembiayaan baru" tutur dia.

Di samping itu, restrukturisasi pembiayaan, juga tetap akan dilakukan Bank Muamalat pada debitur-debitur yang dinilai masih memiliki potensi.


Tak Ada 'Kemewahan'

Pengamat Perbankan Syariah Adiwarman Karim menyebut, restrukturisasi pembiayaan pada perbankan syariah berlangsung cukup lambat dibanding bank konvensional karena beberapa faktor. Faktor tersebut, antara lain, yakni kemampuan untuk membukukan pembiayaan dalam jumlah besar dan permodalan yang minim.

"Bank syariah tidak punya beberapa 'kemewahan' yang dimiliki bank konvensional. Kalau bank konvensional mungkin bisa kasih kredit ke korporasi yang besar, sehingga total kreditnya cepat naik. Permodalan mereka juga besar, sehingga bisa membuat unit pengelolaan aset bermasalah sendiri atau hapus buku," ungkap dia.


Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah juga menyebut, permodalan menjadi salah satu hambatan bagi sebagian besar bank syariah, termasuk Bank Muamalat, dalam menangani NPF.

"Proses restrukturisasi bank syariah ini sebenarnya tak berbeda dengan bank konvensional, tetapi memang biasanya bank syariah terbatas pada permodalan. Modal mereka relatif lebih kecil dari bank-bank konvensional," pungkasnya. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER