Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 1998 silam, banyak bank-bank di Tanah Air tumbang akibat krisis moneter. Ketika itu, pemerintah terpaksa menggelontorkan ratusan triliun dalam bentuk obligasi rekapitulasi ke hampir semua bank kelas kakap.
Namun, masih ada bank-bank, yang meski sedikit terguncang, berhasil selamat dari krisis. Bahkan, tanpa bantuan uang negara sepeser pun. Salah satunya, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Bank murni syariah pertama di Indonesia itu selamat dari krisis bukan tanpa sebab. Bank Muamalat dinilai lebih tahan guncangan karena sistem syariah yang dianut mengharamkan perusahaan dari aksi spekulasi, yang digadang-gadang sebagai penyebab krisis keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inilah yang kemudian menandai bentuk kekebalan bank syariah terhadap krisis. "Menjual apa adanya. Karenanya, tidak ada krisis yang dimulai oleh bank syariah," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sebetulnya, Bank Muamalat tidak benar-benar kebal dari krisis. Pada saat krisis 1998 terjadi, rasio pembiayaan bermasalah (
nonperforming finance/NPF) perusahaan sempat tembus 65,5 persen dari total pembiayaan sebesar Rp479 miliar.
Akibatnya, modal perusahaan tergerus hingga tersisa sepertiganya, yaitu Rp39 miliar. Tak cuma itu, perusahaan juga mencatatkan kerugian Rp75,5 miliar.
Namun, berbeda dengan bank-bank lain ketika itu, yang berakhir gulung tikar atau ditalangi oleh negara, Bank Muamalat selamat setelah Islamic Development Bank (IDB) menyuntikkan dana segar.
Perlahan, modal perusahaan pun membiak hingga mencapai Rp101,4 miliar pada 1999 dan terus meningkat. Perusahaan semakin sehat. Modalnya tembus Rp966,18 miliar sepuluh tahun kemudian. Rasio pembiayaan macetnya pun semakin landai hingga dibawah lima persen, sesuai batas yang ditentukan otoritas saat itu.
Pada 2008, rasio pembiayaan macet perusahaan kambuh hingga menyentuh 4,33 persen dari total pembiayaan Rp10,52 triliun. Kendati demikian, perusahaan masih membukukan laba Rp203 miliar.
Kemudian, pada 2014, rasio pembiayaan macet perusahaan semakin meradang mencapai 6,55 persen. Angka itu sudah di atas batas aman yang ditentukan otoritas keuangan. Tak juga membaik, rasio pembiayaan macet malah semakin liar ke level 7,11 persen satu tahun berikutnya.
Meningkatnya rasio pembiayaan macet tersebut membuat modal perusahaan semakin tipis. Padahal, 2013 lalu, perusahaan sempat memperoleh suntikan dana sebesar Rp1,35 triliun.
Beruntung, pada September 2017, rasio pembiayaan macet bisa turun ke level 4,54 persen. Namun, kepahitan pembiayaan tahun-tahun sebelumnya kadung menggerus modal bank berwarna ungu tersebut. Akibatnya, rasio kecukupan modal perusahaan turun jadi 11,58 persen.
Mencari Pemodal Saat ini, Bank Muamalat mencari investor demi menggemukkan permodalan. Pemegang Saham Pengendali (PSP) perusahaan, yaitu IDB, kemungkinan tak mengambil haknya, meskipun perusahaan berencana menggelar penerbitan saham baru melalui
rights issue.
Alasannya, ketentuan di IDB beberap tahun lalu hanya memperbolehkan lembaga keuangan internasional tersebut memiliki saham pada bank tidak lebih dari 20 persen. Saat ini, IDB masih mengantongi sekitar 32,74 persen saham Bank Muamalat.
Sebetulnya, tahun lalu pun, perusahaan telah mengantongi komitmen PT Mina Padi Investama Sekuritas Tbk yang dibelakangi oleh beberapa investor untuk menjadi pembeli siaga
rights issue Bank Muamalat. Namun, hingga perjanjian jual beli bersyarat berakhir,
rights issue tersebut tak kunjung dijalankan.
Direktur Utama Mina Padi Djoko Joelijanto mengatakan, pihaknya sudah mengajukan skema ke OJK untuk mengempit saham Bank Muamalat. Sayangnya, skema itu ditolak oleh otoritas.
Direktur Utama Bank Muamalat Achmad K Permana menampik bahwa bank dalam kondisi kritis. Menurut dia, saat ini, perusahaan dalam kondisi likuiditas sangat baik. Rasio pendanaan terhadap pembiayaan (
financing to deposit ratio/FDR) Bank Muamalat berkisar 84 persen.
"Sepanjang tahun lalu dan hingga saat ini, kondisi likuiditas kami solid. Saat ini, indikator-indikator keuangan kami juga masih berada di batas yang sesuai dengan persyaratan yang ditentukan OJK," jelas Permana.
Kurang Hati-hati Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia Yusuf Wibisono membenarkan bahwa bank syariah secara natural lebih tahan terhadap krisis keuangan jika dibandingkan dengan bank konvensional. Pasalnya, bank syariah cenderung bergerak di sektor riil dan tidak boleh banyak terlibat di sektor keuangan yang spekulatif.
"Memang, mungkin lebih tahan pada krisis keuangan. Tetapi, bank syariah di sisi lain banyak di sektor riil. Kalau aktivitas ekonomi di sektor riil menurun, tentu akan berpengaruh pada bank syariah. Jadi, apakah bank syariah kebal krisis? Tentu tidak," tegas Yusuf.
Lebih lanjut ia menilai, peningkatan rasio pembiayaan bermasalah yang dihadapi Bank Muamalat sebenarnya adalah permasalahan yang juga terjadi pada bank-bank lainnya, termasuk bank konvensional. Peningkatan rasio pembiayaan macet ini bisa menandakan sektor riil yang sedang lesu, maupun manajemen risiko bank yang lemah.
"Bisa salah satunya atau bisa juga dua-duanya. Krisis yang menimpa Bank Muamalat adalah krisis yang wajar. Ada permasalahan perbankan syariah yang kurang hati-hati," terang dia.
Kendati demikian, Yusuf mengimbau, pemerintah dan OJK harus memberikan perhatian ekstra pada bank syariah tertua di Indonesia ini. Pasalnya, kendati dari sisi ukuran, Bank Muamalat tak sebesar bank-bank konvensional lainnya, bank ini merupakan bank syariah terbesar kedua di Indonesia.
"Kalau Bank Muamalat bermasalah, pasti industri syariah mundur. Ini juga pertaruhannya berat pada citra Indonesia di hadapan investor, kalau memang kita ingin serius ke depan mengembangkan industri keuangan syariah," jelasnya.
(bir)