Kenaikan Subsidi Solar dan Ketakutan Jokowi di Tahun Politik

Agustiyanti & SAH | CNN Indonesia
Selasa, 13 Mar 2018 09:39 WIB
Kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menaikkan subsidi solar Rp1.000 per liter dinilai tepat untuk menghadapi tahun politik di tahun ini dan tahun depan.
Kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menaikan subsidi solar Rp1.000 per liter dinilai tepat untuk menghadapi tahun politik di tahun ini dan tahun depan. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hampir selalu menjadi momok bagi Presiden yang berkuasa menjelang tahun politik. Tak terkecuali bagi Presiden Joko Widodo.

Kenaikan harga minyak dunia yang terus merangsek keuangan PT Pertamina (Persero), membuat pemerintahan Jokowi, akhirnya memilih menaikkan subsidi solar sebesar Rp1.000 per liter, ketimbang menaikkan harga. Pemerintah beralasan, kenaikan harga BBM bisa mengganggu daya beli. Akibatnya, anggaran pemerintah untuk subsidi bengkak sekitar Rp4 triliun.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai kebijakan pemerintah untuk menaikkan subsidi solar tepat untuk menghadapi tahun politik yang berlangsung tahun ini dan tahun depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tanpa kenaikan subsidi, menurut dia, harga solar akan meningkat dan diperkirakan memicu kenaikan harga-harga barang lainnya. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat memicu kemarahan rakyat.

"Kebijakan ini ya kalau secara politik ya tepat lah. Kalau tidak dinaikkan (subsidi solar) kan ini tahun politik memangnya berani Presiden," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, dikutip selasa (13/3).

Ia menyebutkan kebijakan ini sangat erat kaitannya untuk menjaga elektabilitas pemerintah dalam menghadapi tahun politik. Walaupun demikian, pemerintah tentunya tak mau mengaku.


Menurutnya, pembengkakan belanja subsidi sebesar Rp4 triliun adalah harga yang harus dibayar pemerintah guna mempertahankan elektabilitasnya di tahun politik, selain demi menjaga daya beli masyarakat.

"Itu biaya yang harus dipikul negara, kalau subsidinya tidak dinaikkan nantinya ada keributan, itu pasti sudah dihitung," terang dia.

Ia menyebutkan presiden akan sangat kerepotan apabila tidak menaikan subsidi solar dalam menghadapi konstelasi politik di dua tahun ini. Menurutnya, tidak ada pilihan selain menaikkan subsidi solar.

"Kalau bukan tahun politik sih tidak masalah pemerintah tidak menaikkan subsidinya, jadi harga jual solarnya yang naik. Tapi ini tahun politik, tidak ada yang berani ambil risiko," paparnya.

Senada, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Ari Kuncoro juga menilai penambahan subsidi energi dilakukan pemerintah untuk mewujudkan stabilitas ekonomi nasional menjelang tahun politik.


"Energi merupakan komponen utama biaya produksi, dan pemerintah menetapkan ini sebagai salah satu langkah untuk menciptakan harga stabil," kata Ari, seperti dikutip dari Antara.

Stabilisasi harga tersebut juga dibutuhkan untuk menghadapi ketidakstabilan ekonomi dunia akibat kebijakan yang ditempuh pemerintah Amerika Serikat. Kendati demikian, Ari meyakini bahwa langkah penambahan subsidi energi tersebut bersifat jangka pendek atau tidak akan terus-menerus diterapkan.

"Memang, yang terbaik adalah kalau misalnya subsidinya paling kecil. Namun, dengan instabilitas di AS, jangan sampai rupiah terdepresiasi dan harga-harga yang lain juga ikut naik," ucap dia.

Pertamina sebelumnya, memastikan rencana kenaikan subsidi solar sebesar Rp1.000 per liter. Jumlah itu mencapai dua kali lipat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang berkisar Rp500 per liter.

Penambahan subsidi sebagai konsekuensi dari kenaikan rata-rata harga minyak dunia sejak awal tahun yang sudah berada di atas US$60 per barel atau lebih tinggi dari asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2018 yang dipatok US$48 per barel (antara/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER