Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso belum lama ini meminta masyarakat berhati-hati dengan perusahaan teknologi berbasis layanan keuangan
(financial technology/fintech) penyelenggara jasa pinjam meminjam
(peer to peer lending/P2P lending). Alasannya,
fintech bukan lembaga jasa keuangan, sehingga OJK tak bertanggung jawab atas masalah yang timbul dari
fintech."OJK tak bertanggung jawab kalau perusahaan
fintech default (bangkrut). Pemilik dana menanggung risiko sendiri," ucap Wimboh.
OJK, diakui Wimboh, memang meminta perusahaan
fintech mendaftarkan diri. Hingga kini, terdapat sekitar 36 dari sekitar 120 perusahaan
fintech yang terdaftar di OJK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, Wimboh menekankan, OJK hanya mengawasi
fintech dari sisi perlindungan konsumen. Otoritas pengawas industri keuangan tersebut tak mengatur manajemen risiko pada perusahaan
fintech, layaknya pada lembaga jasa keuangan yang kini diawasinya.
Untuk itu, Wimboh pun mengingatkan masyarakat, tingginya risiko berinvestasi di
fintech. Investasi pada
fintech, menurut Wimboh, sama halnya dengan investasi pada saham, memiliki risiko yang tinggi.
Di sisi lain, OJK juga menyoroti tingginya tingkat suku bunga yang dikenakan
fintech kepada peminjam. Ia bahkan mengibaratkan
fintech, seperti rentenir digital.
Pernyataan Wimboh terkait status
fintech yang bukan lembaga jasa keuangan sebenarnya bertentangan dengan peraturan resmi yang telah dikeluarkan OJK dimasa kepemimpinan Muliaman Hadad.
Dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016, disebutkan, layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
(fintech P2P lending) adalah penyelenggara layanan jasa keuangan. Penyelenggara layanan jasa keuangan kemudian dinyatakan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya.
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) pun menyayangkan pernyataan Wimboh yang dinilai tak mendasar dan seakan lepas tangan dalam mengurus fintech.
Wakil Ketua Aftech Adrian Gunadi menilai OJK seharusnya mengawasi fintech lebih ketat, bukan malah lepas tangan. Adrian juga memberikan pembelaan terkait tingginya suku bunga yang dikenakan perusahaan fintech.
Menurut dia, suku bunga yang dikenakan
fintech telah sesuai dengan pasaran, yaitu mengacu pada pembentukan permintaan dan penawaran
(supply and demand) dari pemberi pinjaman
(lender) dan peminjam
(borrower).Bahkan, tingkat suku bunga juga dibuat tetap kompetitif dengan bunga yang ditawarkan oleh perbankan. "Kami
benchmark misalnya dengan bunga bank BUKU I dan BUKU II (modal di bawah Rp5 triliun) sekitar 14-15 persen dengan jaminan. Nah, ini kami tingkatkan sekitar satu persen (jadi 15-16 persen misalnya) karena tanpa jaminan," ungkapnya.
Pengamat
fintech sekaligus Senior Research Manager dari International Data Corporation (IDC) Indonesia Handojo Triyanto menilai 'celoteh' Wimboh sebagai regulator sebenarnya lumrah saja.
"Ini terlihat sekadar mengingatkan, bukan benar-benar bermaksud menghalangi. Mungkin karena OJK memang harus terus melindungi masyarakat dan konsumen," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Senin (12/3).
Handojo menilai, perkembangan
fintech yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir ini, tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh dunia. Dengan demikian, kehadiran fintech sudah tak terelakkan lagi.
Untuk itu, menurut dia, OJK seharusnya tak sekadar mengingatkan masyarakat, tetapi juga membuat regulasi guna memitigasi risiko yang mungkin muncul dari fintech.
"Kalau bank itu kan sudah ada mitigasi risikonya. Nah, ini tidak bisa disamakan dengan fintech. Jadi harusnya langsung dipikirkan bagaimana mitigasinya, di samping saat ini masih fokus pada perizinan para fintech," katanya.
Adapun Handojo bilang, risiko bunga tinggi memang perlu dipertimbangkan masyarakat. Namun lagi-lagi, menurut dia, masyarakat sendiri yang bisa menentukan seperti apa kebutuhan pinjaman mereka.
"Apakah yang berbunga rendah dengan administrasi lebih lama dan jaminan atau tak masalah dengan bunga yang lebih cepat asal proses cepat dan tak pakai jaminan, sesuai dengan kebutuhan saja," ungkap dia.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai ada maksud lain dibalik sikap OJK. Hal ini disebutnya tak lepas dari sentimen bahwa kehadiran fintech terus menekan perbankan.
"Karena memang bank itu semakin tergerus bisnisnya dengan kehadiran fintech, terutama bank yang kecil. Tak heran, bank-bank kecil itu semakin 'megap-megap' (bisnisnya)," ucapnya.
Belum lagi, sambungnya, secara industri, kinerja bank juga terbilang tak apik pada tahun lalu. Pertumbuhan kredit bank tahun lalu hanya bertengger di kisaran 8,2 persen.
Ia pun menilai, perlu ada satu kementerian khusus yang mengurus soal ekonomi digital agar persoalan fintech tak hanya diurus oleh OJK saja. Dengan demikian, pemetaan dan regulasi secara terstruktur dipegang oleh satu kementerian khusus.
"Seharusnya seperti di Thailand, mereka punya kementerian khusus untuk ekonomi digital, sehingga lebih terkonsentrasi dan jelas tindak tanduknya. Kalau di Indonesia, ada 16 kementerian/lembaga yang urus fintech, makanya pusing, saling berebut juga," pungkasnya.
Namun, untuk saat ini, Bhima menilai, OJK harus segera menyempurnakan aturan main bagi
fintech. (agi)