Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga riset ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) menilai struktur neraca perdagangan Indonesia masih rentan defisit dalam beberapa waktu ke depan. Ini lantaran impor migas yang makin melebar dan juga peningkatan impor barang konsumsi jelang hari raya Idul Fitri.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas pada bulan Januari dan Februari tercatat US$4,51 miliar atau naik 5,08 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar US$4,3 miliar yang ditengarai kenaikan harga minyak dunia. Sementara itu, impor barang konsumsi naik 55,32 persen secara tahunan ke angka US$1,38 miliar.
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan defisit neraca perdagangan dalam tiga bulan berturut-turut sangat disayangkan karena ini merupakan kejadian pertama kalinya sejak 2014. Tak hanya itu, proteksi atas ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya juga bisa menghalangi ekspor Indonesia yang tahun kemarin memiliki kinerja cemerlang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, pemerintah seharusnya memasang lampu kuning agar defisit ini tidak berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi tahun ini. Namun, ia menganggap pemerintah sudah terlambat untuk membalikkan keadaan. Sebab, defisit sepanjang dua bulan pertama 2018 akan mengerek turun pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama tahun ini.
"Net ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21 persen berpotensi memberikan sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini. Artinya, upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di tahun ini menjadi semakin sukar," ujar Faisal melalui siaran pers dikutip Kamis (15/3).
Ia melanjutkan, defisit neraca perdagangan juga harus segera diantisipasi karena bisa memperlebar defisit transaksi berjalan. Sebelumnya, Bank Indonesia memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan mencapai 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya 1,7 persen.
Maka itu, pemerintah perlu mengantisipasi defisit dengan tidak bergantung pada ekspor komoditas dan fokus pada ekspor manufaktur. Ini dimaksudkan agar Indonesia tak usah terpapar parah akibat fluktuasi harga komoditas.
Dalam hal ini, ia ingin Indonesia mencontoh Vietnam dan Thailand. "Kontribusi ekspor manufaktur hanya 47 persen dari total ekspor Indonesia, sementara kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor Vietnam dan Thailand saat ini sudah mencapai 78 persen," ucap dia.
Menurut data BPS, impor bahan baku sepanjang Januari dan Februari tercatat US$22,05 miliar atau 74,67 persen dari total impor senilai US$29,52 miliar. Artinya, sebagian impor Indonesia digunakan untuk proses peningkatan nilai tambah.
Namun, ini juga mengindikasikan bahwa Indonesia masih bergantung akan bahan baku impor. Sehingga, ketergantungan ini pun harus segera dikurangi.
"Kondisi ini menjadi warning bagi pemerintah untuk segera menempatkan upaya peningkatan daya saing industri manufaktur secara komprehensif sebagai agenda utama ke depan. Bukan sekedar untuk memperkuat neraca perdagangan, tetapi juga untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi," pungkas dia.
Data BPS menunjukkan akumulasi defisit dalam dua bulan pertama 2018 mencapai US$780 juta. Padahal, di periode yang sama tahun sebelumnya, neraca perdagangan tercatat surplus US$2,69 miliar.
(lav)