Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mengusulkan untuk mengubah mekanisme penyaluran subsidi biodiesel yang selama ini menggunakan dana pungutan kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO Fund) yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan pihaknya mengusulkan mekanisme subsidi yang semula diberikan langsung kepada badan usaha diubah menjadi langsung kepada PT Pertamina (Persero). Perusahaan berperan sebagai lembaga penyalur Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan wajib menjalankan mandatori pencampuran biodiesel 20 persen (B20).
Rencananya, Pertamina nanti akan membeli biodiesel sesuai dengan harga indeks pasar biodiesel. Setelah itu, pemerintah akan mengganti, atau dengan kata lain mensubsidi, selisih antara harga pasar biodiesel dengan indeks harga pasar BBM jenis Solar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, mekanisme ini sebenarnya tak jauh berbeda seperti sebelumnya, yakni mensubsidi biodiesel. Sehingga, ia berharap tidak ada kesalahpahaman lagi mengenai persepsi subsidi biodiesel.
"Kalau biasanya Pertamina dapat membayar Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dengan harga yang sudah dibantu BPDP, nanti Pertamina membayar dengan harga pasar tapi selisihnya (dengan harga Solar) akan dibayar BPDP. Sebetulnya mekanisme ini sama saja," ungkap Oke ditemui di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Selasa (20/3).
Dengan demikian, Perpres Nomor 24 Tahun 2016 berpotensi berubah. Namun, perubahan itu tentu menunggu pendapat Pertamina yang sampai saat ini disebutnya masih mengkaji usulan tersebut.
Ia juga bilang, aturan ini tidak akan memberatkan keuangan Pertamina dalam jangka pendek karena subsidi tetap diberikan mengikuti aturan sebelumnya, di mana pergantian dana dilakukan tiga bulan sekali. Ini, lanjutnya, berbeda dengan pembayaran utang subsidi pemerintah ke Pertamina dalam menjual BBM bersubsidi yang butuh proses lama.
"Bahkan bila penting BPDP Sawit bisa bayar dulu (ke Pertamina)," ujar dia.
Setelah mekanisme ini diberlakukan, ia berharap negara-negara maju tidak memandang kelapa sawit Indonesia disubsidi pemerintah. "Dan ini salah satu upaya kami untuk menghilangkan tuduhan subsidi," pungkas dia.
Perubahan mekanisme ini ditujukan untuk mengurangi tekanan internasional terhadap minyak kelapa sawit Indonesia yang selama ini dituduh mendapat subsidi dari pemerintah.
Padahal kenyataannya, subsidi tersebut diberikan kepada pelaku usaha dari uang yang juga dihimpun oleh pelaku usaha. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, penyaluran subsidi biodiesel memang diberikan BPDP Sawit langsung ke badan usaha menggunakan CPO Fund yang dipungut dari aktivitas ekspor perusahaan sawit.
Oleh karena uang itu mengalir dari BPDP Sawit yang merupakan lembaga pemerintah, maka dana tersebut kerap disalahartikan sebagai subsidi langsung dari pemerintah. Maka itu, kesalahpahaman persepsi mengenai subsidi harus dihapuskan dengan mengganti mekanisme penyalurannya.
"Dana dari eksportir sawit dikumpulkan ke BPDP Sawit, karena BPDP ini lembaganya berdasarkan mekanisme APBN. Jadi kalau ada aliran kembali ke produsen biodisel itu dianggap menjadi subsidi, anggapan iyu yang harus diubah," ujar Oke.
Sebelumnya, pada 9 November 2017 lalu, Amerika Serikat melalui United States Department of Commerce (USDOC) mengumumkan putusan final bea masuk imbalan (countervailing duty) produk biodiesel dari Indonesia sebesar 34,45 persen hingga 64,73 persen.
Pemerintah Indonesia dituduh mesubsidi produk biodiesel yang diekspor ke negara Paman Sam it. Dengan kata lain, AS menduga Indonesia melakukan praktik dumping dan merugikan produsen minyak nabati setempat.
Data Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Dono Boestami mengatakan dana pungutan ekspor sawit mencapai Rp11,7 triliun pada 2017 lalu. Adapun, 75 persen dari jumlah tersebut dialokasikan untuk subsidi biodiesel.
(lav)