Daripada Rilis SBN, Faisal Basri Usul RI Utang ke Bank Dunia

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 21 Mar 2018 17:11 WIB
Ekonom Faisal Basri mengusulkan RI sebaiknya berutang dari lembaga internasional ketimbang merilis Surat Berharga Negara (SBN) yang bunganya lebih tinggi.
Ekonom Faisal Basri mengusulkan RI sebaiknya berutang dari lembaga internasional ketimbang merilis Surat Berharga Negara (SBN) yang bunganya lebih tinggi. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Faisal Basri mengusulkan Indonesia sebaiknya lebih memilih pinjaman dari lembaga internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) maupun pinjaman bilateral dari negara lain dibandingkan berutang dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).

"Saran saya, kalau mau meningkatkan utang, lebih baik berutang pada Bank Dunia lebih banyak, lebih baik berutang dengan ADB lebih banyak, minta utang sama Jepang, minta utang sama China. Itu jaminan lebih efektif lebih banyak tetapi tidak merdeka, tidak bisa suka-suka," ujarnya saat menghadiri diskusi di kantor Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (21/3).

Menurut Faisal, utang bukanlah sesuatu yang haram dilakukan oleh suatu negara. Penarikan utang merupakan bagian dari tata kelola fiskal suatu negara. Tak heran, negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Singapura, dan Jepang masih memiliki utang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Faisal mengungkapkan dari sisi suku bunga, pinjaman konvensional suku bunganya lebih rendah dibandingkan SBN. Kemudian, jangka waktunya juga lebih panjang dibandingkan utang SBN.

Selain itu, persyaratan pemanfaatan utang konvensional lebih ketat dibanding SBN. Utang konvensional biasanya terkait langsung dengan pembiayaan proyek tertentu. Sementara, pemanfaatan SBN bebas ditentukan oleh pemerintah yang berisiko tidak produktif kalau pemerintah tidak memanfaatkannya dengan baik.

"SBN pemanfaatannya, bebas merdeka, mau dipakai untuk belanja barang, belanja pegawai, buat berpergian, suka-suka kita," ungkapnya.


Perencanaan pemanfaatan dari pinjaman luar negeri juga lebih disiplin, transparan dan pengawasannya lebih ketat. Sementara, menurut Faisal, pemanfaatan utang SBN cenderung kurang disiplin dan transparan. Faisal mencontohkan, proyek Mass Rapid Transit (MRT) yang mendapatkan pembiayaan dari Jepang pengerjaannya lebih ketat dan rapi.

"Pembiayaan MRT tidak ada satu sen pun yang mampir ke kas negara, tetapi langsung ke kontraktor, tidak macet," imbuh dia.

Dalam kondisi global stabil, berutang dalam bentuk surat berharga tidak menjadi masalah. Namun, hal itu akan menjadi masalah jika terjadi gangguan pada perekonomian global di mana Indonesia terekspos pada risiko pelarian modal.


Mengutip data Bank Indonesia, Faisal menyebutkan pada 2010, komposisi utang pemerintah lebih banyak didominasi oleh pinjaman konvensional dimana porsinya mencapai 63,7 persen dari total seluruh utang pemerintah. Sementara, porsi utang dalam bentuk SBN hanya 36,3 persen.

Pada Juni 2017, porsi utang dalam bentuk surat berharga melejit menjadi 67,4 persen yang banyak dimiliki investor asing, sedangkan porsi utang konvensional hanya 32,6 persen.

"Sebelumnya kita menyanderakan diri ke donor. Sekarang, kita menyerahkan diri ke pasar yang tidak bisa kita kendalikan," terang Faisal.


Jika dibandingkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), porsi utang pemerintah Indonesia relatif rendah jika dibandingkan negara maju, yaitu cuma berkisar 30 persen. Namun, hal yang perlu dicermati adalah beban bunga yang ditanggung negara.

Pada 2015, beban bunga Indonesia adalah 8,6 persen dari porsi belanja negara. Sementara, AS yang utangnya lebih besar dari PDBnya, porsi pembayaran bunganya hanya enam persen dari total belanja.

Bahkan, pada 2017, porsi beban bunga Indonesia 10,9 persen dari total belanja atau lebih besar dari belanja modal yang porsinya 10,3 persen.

Sebagai informasi, per akhir Februari 2018, utang pemerintah telah mencapai sekitar Rp4.034,8 triliun atau tumbuh 13,46 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sebesar Rp3.257,26 triliun di antaranya atau 80,73 persen berasal dari SBN. Sementara, Rp771,76 triliun sisanya berasal dari pinjaman luar negeri. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER