Jakarta, CNN Indonesia -- Pendiri CT Corp Chairul Tanjung mengatakan saat ini Indonesia tak bisa mengelak dari revolusi industri 4.0. Sebab, semakin majunya teknologi, maka akan mengubah cara perusahaan dalam melakukan bisnisnya.
Adapun, revolusi industri 4.0 adalah proses penciptaan nilai tambah barang dan jasa yang berbasiskan pertukaran informasi dan data. Ciri khas era Industri 4.0, antara lain pemanfaatan rekayasa kecerdasan (artificial intelligence), internet of things, big data, sampai robot.
Agar ekonomi Indonesia berdaya saing, maka mau tak mau pelaku usaha saat ini harus menyesuaikan diri dengan revolusi industri 4.0. Bahkan, saat ini dampaknya sudah mulai terasa di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan, saat ini penyedia aplikasi teknologi transportasi, seperti Go-Jek dan Uber menggerus pangsa pasar transportasi konvensional. Tak hanya itu, runtuhnya sektor ritel pun juga disinyalir karena timbulnya moda berbelanja secara daring (online).
"Dan dengan berbasiskan data dan informasi, sebetulnya dunia usaha mendapatkan manfaat. Yakni, bisnisnya bisa lebih inklusif, tercipta efisiensi di proses bisnis, dan memudahkan dunia usaha untuk berinovasi," jelas CT, Kamis (22/3).
Hanya saja, menurutnya, revolusi industri 4,0 menimbulkan mudharat tersendiri. Salah satunya, pengurangan tenaga kerja demi efisiensi biaya oeprasional perusahaan.
Ia mengambil contoh Upah Minimum di Kabupaten Karawang yang kini mencapai Rp4 juta per bulan. Berdasarkan hitungan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, maka kenaikan upah per tahun dihitung dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Mengambil asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi saat ini, maka bisa-bisa upah minimum menembus Rp15 juta dalam 10 tahun lagi. Sehingga, daripada mempekerjakan karyawan, maka perusahaan akan mengganti sistem produksinya dengan otomatisasi. Ini dianggapnya sudah menjadi konsekuensi logis dari revolusi industry 4.0.
"Nantinya, tidak ada lagi buruh di Karawang, semuanya jadi otomatisasi," imbuh mantan Menteri Koordinator bidang Perekonomian ini.
Tak hanya masalah ketenagakerjaan, revolusi industri 4.0 juga membuat persaingan bisnis semakin ketat, mengingat pendiriannya cukup mudah. Hanya saja, persaingannya menjadi tidak sehat lantaran satu perusahaan bisa menguasai seluruh pangsa pasar.
Dalam hal ini, ia memberi contoh Amazon yang pada 2016 lalu mengambil pangsa 38 persen dari seluruh total transaksi e-commerce di Amerika Serikat (AS).
"
Market leader (pemimpin pasar) tidak akan memberi
space (ruang) bagi kompetitornya. Misalnya, Amazon yang saat ini nomor satu di AS membuat tidak ada tempat bagi yang lain. Istilahnya
the winner takes all," terang dia.
Di samping dua masalah itu, ada satu hal lagi yang seharusnya menjadi perhatian Indonesia, yakni menjamurnya industri berbasis teknologi informasi luar negeri yang memanfaatkan pasar dalam negeri. "
Foreign ownership ini issue, tidak boleh ada yang mengakunya karya anak bangsa, tapi bukan perusahaan Indonesia," pungkasnya.
(bir)