Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah akan kembali bergejolak pada Mei 2018, setelah bergerak di kisaran Rp13.700 per dolar Amerika Serikat (AS) selama Maret ini.
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo memperkirakan gejolak rupiah akan terjadi lantaran pasar menanti kepastian jelang kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS Federal Reserve yang diperkirakan akan terjadi pada Juni 2018.
"Kalau The Fed benar-benar akan menaikkan di bulan Juni, mungkin nanti di Mei akan terjadi lagi volatilitas," ujar Agus di Gedung BI, kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut telah terjadi pada Februari lalu, di mana sejak sebulan sebelum pengumuman The Fed, gejolak rupiah sudah terasa. Kendati begitu, Agus belum bisa memperkirakan seberapa besar gejolak rupiah pada Mei nanti.
Hanya saja, ia memastikan bank sentral nasional sudah siap dengan gejolak rupiah mendatang. Caranya, dengan mempersiapkan cadangan devisa (cadev) untuk melakukan intervensi stabilisasi rupiah bila diperlukan.
"BI akan senantiasa ada di pasar untuk meyakinkan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah dalam batas yang baik. Fluktuasi atau volatilitasnya tak akan membuat masyarakat jadi tidak percaya dengan nilai tukar rupiah," katanya.
Selain itu, untuk menghadapi gejolak rupiah sampai akhir tahun, BI akan terus menjaga fundamental pertumbuhan ekonomi agar mampu menopang risiko gejolak rupiah. Khususnya, dari sisi inflasi yang dipatok 3,5 persen plus minus 1 persen pada tahun ini.
Bila inflasi membengkak, hal ini dapat menambah tekanan ke pergerakan kurs rupiah. Maka itu, bank sentral mengaku akan memperkuat koordinasi dengan pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Tim Pengendali Inflasi Daerah.
"Jadi bila terjadi dinamika dari global, bisa dari suku bunga The Fed yang naik, yield US Treasury (imbal hasil surat utang AS) yang meningkat, penurunan neraca The Fed, ada gejolak perdagangan dari negara lain, itu Indonesia bisa tetap menjaga stabilitas perekonomiannya," katanya.
Adapun BI berupaya mengantisipasi gejolak sampai akhir tahun karena kenaikan suku bunga acuan The Fed diperkirakan akan kembali terjadi pada Desember 2018.
Sepanjang tahun ini, The Fed diperkirakan akan mengerek suku bunganya sebanyak tiga kali. Bahkan, belakangan pasar memproyeksi The Fed akan menaikkan sampai empat kali.
Sementara BI mencatat, depresiasi kurs rupiah sebesar 1,25 persen dari 1 Januari-26 Maret 2018, dari yang semula bergerak di kisaran Rp13.200 per dolar AS menjadi Rp13.700 per dolar AS.
"Dengan rupiah yang terdepresiasi 1,25 persen, itu betul-betul masih di batas yang wajar dan kami sudah tahu bahwa sebetulnya tekanan itu pernah membuat rupiah tertekan hingga 1,6 persen (ytd), tapi sekarang sudah kembali ke 1,25 persen," pungkasnya.
(lav)