Jakarta, CNN Indonesia -- Peningkatan biaya energi primer batu bara menggerus laba bersih PT PLN (Persero) dari Rp8,15 triliun pada 2016 menjadi Rp4,42 triliun pada 2017.
Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto mengungkapkan sejak akhir 2016, harga batu bara melejit secara signifikan hingga menyentuh US$100 per ton. Padahal, sebanyak 58 persen produksi listrik PLN berasal dari energi primer batu bara.
"Pada 2017, biaya pokok produksi PLN naik Rp16, 46 triliun akibat kenaikan harga batu bara yang menyesuaikan dengan Harga Batu Bara Acuan Pasar," ujar Sarwono dalam paparan Laporan Keuangan PLN Tahun 2017 di kantor pusat PLN, Rabu (28/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karenanya, Sarwono mengapresiasi keputusan pemerintah untuk mematok harga tertinggi batu bara untuk pemenuhan kebutuhan domestik (Domestik Market Obligation) di sektor ketenagalistrikan sebesar US$70 per ton.
Sepanjang tahun lalu, pendapatan usaha perseroan meningkat 14,6 persen menjadi Rp255,29 triliun. Pendapatan usaha perseroan meningkat seiring pertumbuhan penjualan sebesar 7,1 TeraWatthour (TWh) selama 2017 dibanding tahun sebelumnya.
Seiring dengan pertumbuhan produksi listrik, beban usaha perusahaan tahun lalu melonjak Rp21,02 triliun atau 8,3 persen menjadi Rp275,47 triliun.
Di saat bersamaan, perseroan berupaya untuk melakukan efisiensi operasional sehingga bisa menjaga kesehatan kondisi keuangan. Hal itu salah satunya tercermin dari perbandingan penambahan investasi dengan utang perseroan.
Selama periode 2015-2017, penambahan pinjaman perseroan melonjak Rp83,6 triliun atau jauh lebih rendah dari total investasi yang dilakukan perseroan selama periode yang sama, Rp190,7 triliun.
Perseroan juga memberikan kontribusi fiskal kepada negara sebesar Rp239,5 triliun sepanjang tiga tahun terakhir yang terdiri dari peningkatan pajak dan dividen sebesar Rp96 triliun dan penghematan subsidi sebesar Rp143,5 triliun.
Adapun, aset perseroan tahun lalu mencapai Rp1.350 triliun atau melonjak 250 persen dibandingkan posisi akhir tahun 2014. Peningkatan pesat tersebut terjadi setelah ada revaluasi aset tahun 2015 dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pendanaan.
Tahun ini, Sarwono memperkirakan kinerja laba perseroan bakal membaik. Salah satu faktornya adalah penetapan harga DMO batu bara. Namun, Sarwono mengingatkan harga batu bara bukan satu-satunya faktor penentu kinerja keuangan perseroan.
Selain harga batu bara, perseroan juga mendapat tekanan dari perkembangan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) dan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar.
Untuk itu, perseroan tahun ini akan melanjutkan upaya efisiensi operasional. Misalnya, membuat zonasi untuk kapal batu bara sehingga batu bara bisa dipasok dari daerah yang lebih dekat ke pembangkit.
"Kalau pembangkit ada di Sumatera, pasokan batu baranya jangan dari Kalimantan tetali Sumatera juga," ujarnya.
(lav)