BPK Koreksi Realisasi Subsidi Energi 2016 Rp1,63 Triliun

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 04 Apr 2018 10:18 WIB
Setelah dilakukan koreksi oleh BPK, jumlah subsidi energi yang harus dibayarkan pemerintah untuk anggaran 2016 turun dari Rp94 triliun menjadi Rp92,36 triliun.
Koreksi paling besar dilakukan BPK atas pengajuan subsidi listrik PT PLN (Persero) sebesar Rp1,61 triliun. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan koreksi terhadap pembayaran subsidi energi tahun anggaran 2016 sebesar Rp1,63 triliun. Hal itu tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester II tahun 2017 yang telah diserahkan BPK kemarin kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Koreksi tersebut diberikan setelah BPK melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan subsidi energi tahun anggaran 2016. Pemeriksaan atas pengelolaan subsidi secara umum bertujuan untuk menilai kewajaran perhitungan nilai subsidi yang layak dibayar oleh pemerintah, serta menilai apakah pelaksanaan subsidi telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Objek pemeriksaan terdiri dari subsidi listrik yang dibayarkan kepada PT PLN (Persero), subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu yang dibayarkan kepada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, dan subsidi liquified petroleum gas (LPG) dalam tabung tiga kilogram (kg) yang dibayarkan kepada Pertamina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah dilakukan koreksi, jumlah subsidi energi yang harus dibayarkan pemerintah kepada badan usaha untuk tahun anggaran 2016 menciut dari Rp93,99 triliun menjadi Rp92,36 triliun.

"Dengan demikian, BPK telah membantu menghemat pengeluarkan negara senilai Rp1,63 triliun dengan mengurangi subsidi yang diajukan BUMN," terang BPK seperti dikutip dari IHPS Semester II, Rabu (4/4).

Jika dirinci, koreksi atas pengajuan subsidi listrik PT PLN (Persero) sebesar Rp1,61 triliun, sehingga subsidi yang harus dibayar pemerintah menjadi Rp58,65 triliun. Kemudian, koreksi subsidi sebesar Rp8,08 miliar diberikan untuk subsidi jenis BBM tertentu sehinga pemerintah hanya harus membayar sebesar Rp10,13 triliun. Selanjutnya, subsidi LPG tabung tiga kg mendapatkan koreksi sebesar Rp13,9 miliar menjadi Rp24,18 triliun.

Pemerintah telah membayar subsidi energi 2016 senilai Rp 65,07 triliun. Dengan demikian, pemerintah masih harus menggenapi kekurangan pembayaran subsidi senilai Rp 27,29 triliun yang terdiri dari pembayaran subsidi listrik kepada PLN senilai Rp7,22 triliun, subdisi jenis BBM tertentu kepada Pertamina dan AKR sebesar Rp5,71 triliun, dan subsidi LPG tabung 3 kg sebesar Rp14,35 triliun.

Realisasi subsidi energi tahun lalu dan rencana tahun ini. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)

Selain melakukan koreksi subsidi, hasil pemeriksaan atas pengelolaan subsidi menyimpulkan perusahaan belum sepenuhnya merancang dan melaksanakan sistem pengendalian intern secara memadai untuk mencapai tujuan pengendalian, serta belum mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Permasalahan Penghitungan Subsidi Listrik
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Subsidi Listrik 2016 pada PLN yang dirilis Agustus 2017 lalu, Suparwadi selaku penanggung jawab pemeriksaan mengungkap sejumlah permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap perhitungan subsidi listrik periode berikutnya.

Pertama, penyelesaian penghitungan dan pembayaran Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) sejak 2013 kepada PT PJTII sebesar Rp233,56 Miliar masih berlarut-larut.

"Kedua, pengadaan mobile power plant kapasitas 500 megawatt (MW) belum seluruhnya didukung dengan pasokan bahan bakar gas yang berpotensi memboroskan keuangan perusahaan sebesar Rp1,61 triliun dan mengalami keterlambatan," ujar Suparwadi.

Selanjutnya, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) lima unit Leasing Marine Vessel Power Plant (LMVPP) tidak cermat dan pelaksana pekerjaan belum dikenakan denda keterlambatan minimal sebesar Rp32,79 miliar. Selain itu, pengoperasian pekerjaan tidak didukung dengan sarana dan perencanaan pasokan gas yang memadai.


Berikutnya, permasalahan hukum dan pertanahan pada PLN Transimi Jawa Bagian Tengan (TJBT) yang belum dapat diselesaikan mengganggu kehandalan penyaluran energi listrik.

Terakhir, permasalahan aset tanah seluas 25,14 Hektare senilai Rp1,80 Miliar di UP Saguling PT Indonesia Power (IP) dikuasai oleh pihak lain.

Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan sejumlah kebijakan kepada Direksi PLN.

BPK meminta PLN membuat kajian hukum mengenai kewajiban PLN sebelum melakukan addendum atas tarif BJPSDA, melakukan koordinasi internal PLN dan bersama dengan kementerian terkait untuk mempercepat penyusunan dan penetapan peraturan yang jelas mengenai tarif BJPSDA serta menyelesaikan permasalahan beban BJPSDA sesuai ketentuan yang berlaku.


Kemudian, PLN perlu mempertanggungjawabkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terkait pemborosan atas ketidaksiapan pasokan gas MPP dan ketidakefisienan SFC pembangkit dan melakukan kajian jangka pendek terkait penyediaan pasokan gas atau percepatan penyediaan pasokan gas.

Ketiga, BPK merekomendasikan PLN untuk melakukan negosiasi penurunan harga kontrak pengadaan LMVPP dan memerintahkan Kepala Divisi Operasi Sulawesi Nusa Tenggara dan dan Kepala Divisi Operasi Maluku dan Papua untuk segera mengenakan denda keterlambatan kepada pihak ketiga sebesar Rp32,80 Miliar.

Keempat, PLN perlu memerintahkan seluruh unit PLN untuk melakukan inventarisasi Saluran Udara Tekanan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tekanan Menengah (SUTM) di masing-masing unitnya kemudian melaporkan kondisinya kepada Divisi Operasi masing-masing regional, serta membuat rencana tindak lanjut atas kondisi SUTT dan SUTM yang memerlukan perhatian.

PLN juga perlu melakukan koordinasi dengan pihak eksternal antara lain Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian BUMN untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih lahan dan melakukan pengukuran ulang bersama-sama sesuai standar BPN untuk lahan seluas 25,14 ha. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER