Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Mari Elka Pangestu menilai defisit neraca perdagangan selama tiga bulan berturut-turut sejak Desember 2017 hingga Februari 2018 belum memberi masalah bagi laju ekonomi Indonesia.
Berdasarkan analisanya, jumlah impor yang tinggi digunakan untuk keperluan investasi atau ekspansi perusahaan. Hal itu justru dinilai positif bagi kemajuan ekonomi dalam negeri.
"Seharusnya itu positif. Kami pernah membuat analisanya, menurut saya masih valid lah," tutur mantan Menteri Perdagangan, Kamis (5/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan defisit sebesar US$120 juta pada Februari 2018. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan Januari 2018 sebesar US$690 juta.
Untuk ekspor Februari 2018 sendiri tercatat sebesar US$14,1 miliar atau naik 11,76 persen dibandingkan Februari 2017. Sementara itu, impor pada Februari 2018 mencapai US$14,21 miliar.
Impor itu terdiri dari impor konsumsi sebesar US$1,38 miliar, impor bahan baku/penolong sebesar US$10,58 miliar, dan barang modal sebesar US$2,25 miliar. Dalam hal ini, bahan baku yang umumnya untuk investasi dan ekspansi usaha menyumbang impor terbanyak.
"Kira-kira dari impor masuk karena investasi naik ataupun dari ekspansi produksi, dalam enam bulan biasanya ekspor akan naik," papar Mari Elka.
Selain itu, Mari Elka menyebut kemungkinan kenaikan impor juga disebabkan harga minyak dunia yang naik. Sehingga mempengaruhi keseluruhan jumlah impor.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent tadi malam ditutup di level US$68,02 per barel dan harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$63,37 per barel.
(lav/bir)