Jakarta, CNN Indonesia -- Anda mungkin sudah merasa aman karena kantor yang menaungi saat ini telah menyiapkan program
dana pensiun. Bagi Anda yang kini bekerja sebagai pegawai swasta, yang pasti perusahaan wajib mendaftarkan sebagai
BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, ada pula perusahaan yang berbaik hati menambah program dana pensiun tambahan yang dikelola oleh perusahaan sendiri maupun dengan menunjuk lembaga keuangan lain. Sedangkan bagi Anda yang PNS, biasanya dijamin dana pensiunnya oleh PT Taspen (Persero).
Bagi pegawai swasta, iuran BPJS Ketenagakerjaan yang nantinua bisa menjadi bekal masa depan Anda terbagi menjadi dua, yakni iuran Jaminan Hari Tua (JHT) dan iuran jaminan pensiun. Iuran JHT ditetapkan sebesar 5,7 persen yang terdiri dari 3,7 persen dibayarkan pemberi kerja dan dua persen dibayarkan pekerja. Sedangkan iuran pensiun ditetapkan sebesar tiga persen, terdiri dari dua persen pemberi kerja dan satu persen pekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, iuran program dana pensiun tambahan bergantung pada kebijakan perusahaan.
Jika dikumpulkan setiap bulan, tentunya lama kelamaan dana yang terkumpul untuk pensiun bakal menumpuk. Namun, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah dana tersebut bakal cukup menopang hidup pekerja ketika masuk masa pensiun?
Perencana Keuangan OneShildt Financial Planning Mohammad Andoko menilai iuran jaminan pensiun yang disediakan dari kantor tak bakal cukup. Sebagai pakar keuangan, ia kerap menemukan kasus di mana pekerja kelimpungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya meski ada sokongan dana pensiun dari kantor.
Sebagai gambaran, seorang pegawai swasta rata-rata mendapatkan uang pensiun 32,2 kali lebih besar dari gaji selepas keluar dari perusahannya. Artinya, dengan asumsi gaya hidup yang masih sama, pensiunan bisa memenuhi kebutuhannya hampir selama tiga tahun. Hanya saja, ini tak bisa memenuhi kebutuhan pensiunan hingga akhir hayat.
Ia mencontohkan, saat ini rata-rata usia pensiun mencapai 60 tahun, sementara angka harapan hidup Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 71,06 tahun. Sehingga, jika hal-hal lain dianggap konstan, maka dana pensiun hanya bisa menghidupi pensiunan hingga usia 63 tahun saja. Artinya, diperlukan sokongan dana lain untuk menghidupi pensiunan sampai delapan tahun hingga menginjak usia 71 tahun.
"Dari pengalaman dana pensiunan, iuran dari perusahaan saja tak cukup. Itu baru pegawai swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun serupa. Kadang gaji dan tunjangan yang diterima sebesar Rp15 juta, uang pensiun yang diberikan di angka Rp2 juta hingga Rp3 juta. Jadi untuk memenuhi gaya hidup yang sama, ini masih kurang," tambah dia.
Sehingga, ia menyarankan pekerja untuk menambah sendiri dana pensiunan dari produk yang tersedia di pasar. Adapun, saat ini ada produk di pasar seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan asuransi. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
DPLK memiliki aturan main yang cukup rigid. Sebab, sebagian iurannya hanya bisa diambil tunai secara sebagian, di mana sisanya bisa diambil secara berkala dalam bulanan. Misalnya, jika iuran yang tersimpan sebesar Rp1 miliar, maka DPLK yang bisa diambil secara tunai hanya Rp625 juta. Sisanya, diambil secara berkala layaknya pensiunan PNS.
"Namun, mungkin skema ini mungkin tidak menarik bagi sebagian orang karena kebanyakan ingin mencairkan seluruh iurannya dalam waktu lump sum, sekaligus semuanya. Karena kan tak hanya buat kebutuhan saja, tapi kadang oleh pensiunan uang ini juga digunakan sebagai modal usaha," imbuh dia.
 Pekerja disarankan untuk menambah sendiri dana pensiunan dari produk yang tersedia di pasar.(REUTERS/Garry Lotulung) |
Sementara itu, asuransi berguna untuk menanggung masalah-masalah kesehatan yang kerap muncul saat usia makin menua. Apalagi, salah satu pos pengeluaran yang terbesar nantinya adalah urusan kesehatan.
Untuk mendapat asuransi yang mudah, pekerja bisa mengikuti program BPJS Kesehatan yang diselenggarakan pemerintah. Hanya saja, BPJS Kesehatan memiliki kelemahannya sendiri karena akses kesehatannya harus melalui rumah sakit atau pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang menjadi mitra BPJS Kesehatan. Ini akan menjadi repot jika pensiunan punya penyakit yang butuh dokter spesialis.
Sehingga, agar lebih aman, mungkin pekerja bisa mulai menabung di berbagai produk asuransi yang disediakan oleh jasa keuangan.
"Dengan BPJS, mungkin akses kesehatan bagi beberapa masyarakat akan sangat terganggu utamanya bagi mereka yang kerap datang ke dokter spesialis. Seluruh produk pensiun tentu memiliki cost dan benefit masing-masing," ujar dia.
Ia sendiri menyarankan pensiunan untuk memiliki DPLK dan asuransi. Dengan uang DPLK, pensiunan bisa memproteksi aset yang dimiliki serta bisa memutar dana tersebut ke dalam bentuk investasi. Sementara itu, asuransi digunakan untuk menutupi biaya kesehatan yang nanti akan timbul di masa depan. Ini juga sebagai langkah lain untuk melindungi aset hasil jerih payah selama berpuluh-puluh tahun di masa depan.
Namun, tentu uang pensiun yang maksimal juga tergantung dengan waktu permulaan pembayaran iurannya. Andoko mengatakan, DPLK dan asuransi sebaiknya mulai ditabung sejak awal masa kerja. Untuk DPLK, iuran sebesar 10 persen dari pendapatan per bulan dianggap sudah cukup.
"Banyak yang memulai asuransi di saat sudah berkeluarga, namun jangan sampai seperti itu. Karena banyak yang masih single sudah mengalami critical illness. Tapi jangan sampai juga baru daftar asuransi setelah masuk masa pensiun, bisa-bisa aplikasinya ditolak," jelas dia.
Sementara itu, Perencana Keuangan Tatadana Consulting Tejasari Assad mengatakan, memilih produk DPLK di luar sebetulnya gampang-gampang susah. Saat ini memang jasa keuangan yang menyediakan DPLK tidak banyak, sehingga secara awam, masyarakat bisa memilih DPLK dari lembaga keuangan yang memiliki banyak nasabah. Sebab, biasanya jumlah nasabah mencerminkan kepercayaan terhadap lembaga keuangan tersebut.
Setelah itu, nanti tinggal memilih besaran potongan iuran gaji yang akan dipotong untuk dana pensiun. Nah, untuk tahapan ini, biasanya pekerja harus membutuhkan uluran tangan perencana keuangan untuk mengetahuinya.
Namun, secara umum, besaran potongan gaji per bulan DPLK harus disesuaikan dengan jumlah pengeluaran atau konsumsi per bulan saat memasuki masa pensiun.
"Seharusnya persentase itu ditentukan dengan gaya hidup pensiunan nantinya. Misalnya, saat pensiun nanti masyarakat ingin tetap konsumsi Rp10 juta per bulan, nanti ada hitungan mengenai berapa persen dari gaji yang perlu dipotong per bulan agar bisa memenuhi konsumsi itu. Nantinya setiap lembaga keuangan pasti punya ahli yang bisa mengkalkulasi," jelas Tejasari.
Hanya saja, ketika sudah mendapatkan persentase iuran per bulan, Tejasari meminta masyarakat untuk konsisten. Misalnya, ada pegawai yang memiliki gaji Rp5 juta per bulan dan memutuskan menyisihkan Rp500 ribu, atau 10 persen, untuk dana pensiun. Jika nantinya gaji pekerja naik menjadi Rp6 juta, maka seharusnya iuran tetap sebesar 10 persen atau Rp600 ribu. Jangan sampai menggunakan hitungan Rp500 ribu per bulan lagi.
"Tentu kenaikan gaji harus disertai dengan konsistensi pembayaran iuran agar dana pensiun bisa optimal. Karena kan di masa depan harga kebutuhan sudah berbeda, ada inflasi pula. Jadi konsistensi pembayaran iuran juga penting bagi pensiunan," jelas dia.
(agi/bir)