Jakarta, CNN Indonesia --
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lebih dari separuh aduan yang masuk dalam kurun waktu 2013-2018 berasal dari produk dan layanan perbankan. Seperti, Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan
kartu kredit.
Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito mengatakan 53,3 persen pengaduan konsumen yang diterimanya berasal dari sektor perbankan. Sedangkan, 25,8 persen aduan konsumen lainnya berasal dari sektor asuransi, 12,7 persen dari multifinance, dan sisanya tiga persen dari pasar modal.
"Keluhan soal dana pensiun paling sedikit, yaitu 1,3 persen. Memang yang paling banyak tetap perbankan, mungkin karena pangsa pasarnya paling banyak," ujarnya, Kamis (26/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut Sarjito menjelaskan beberapa hal yang membuat konsumen banyak mengadukan produk dan layanan perbankan. Yakni,
pertama, calon konsumen dianggap mengerti risiko dari kartu dan kredit yang diberikan perbankan.
"Selalu orang mengatakan bahwa calon nasabah itu pasti sudah mengerti akan produk jasa keuangan. Padahal, tidak juga. Semua itu masih harus dijelaskan dengan jelas," terang dia.
Kedua, minimnya penjelasan agen pemasaran produk, khususnya untuk fasilitas kartu kredit, KTA, dan kredit mikro. "Mungkin ini juga karena banyak agen yang hanya mau menyelesaikan targetnya dengan cepat. Jadi menjelaskan se-kenanya saja," imbuhnya.
Selain itu, menurut Sarjito, ada pula potensi minimnya penjelasan dari agen lantaran kian menjamurnya agen ganda. Misalnya, satu agen asuransi yang bekerja di perusahaan A, namun menjadi agen asuransi di perusahaan B.
Ketiga, konsumen tidak menerima salinan perjanjian kredit atau KTA.
Keempat, penalti pelunasan yang dipercepat ditentukan sepihak, khususnya untuk produk KTA.
Kelima, tidak ada konfirmasi jumlah dana yang ditransfer.
Keenam, perubahan bunga dan tenor yang tidak jelas dari pihak bank, khususnya untuk KTA.
"Keseluruhannya awalnya serba oke (penawaran dari agen), tapi akhirnya tidak sesuai," kata Sarjito.
Sementara, terkait perusahaan asuransi, dasar pengaduannya, antara lain konsumen merasa mendapatkan informasi dengan tidak jelas lantaran penawaran dilakukan melalui saluran telepon.
"Ini saya yakin pasti bukan saya saja yang menjadi korban penawaran asuransi via telepon. Dalam sehari bisa berapa banyak yang telepon," tutur dia.
Aduan lain karena biaya dan risiko tidak diinformasikan dengan baik. Umumnya banyak terjadi untuk produk asuransi berbasis investasi (unitlink). Kemudian, terjadi praktik
miss-selling, yaitu mengemas asuransi unitlink sebagai produk tabungan.
Alasan lain, karena premi atas premi dasar dan premi top up tidak diinformasikan secara baik kepada nasabah unitlink. Juga karena tidak jujur dalam memberikan informasi pembebanan biaya.
Di sektor multifinance, biasanya pengaduan datang karena salesman tidak menjelaskan biaya-biaya terkait, khususnya biaya penarikan dan biaya pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam pengusasan pemilik benda (fidusia).
Hal ini sering terjadi pada pembiayaan kendaraan roda dua. "Karena semua ini masih kurang dengan banyaknya aduan, kami mau atur soal transparansinya ke depan. Dari sisi hukum, kami kaji kembali," ucapnya.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menambahkan sebagian besar pengaduan konsumen juga terjadi karena pemahaman konsumen yang kurang dari produk-produk jasa keuangan.
Hal ini merujuk pada masih rendahnya tingkat literasi keuangan dibandingkan dengan inklusi keuangan. Data OJK per 2016 menyebutkan bahwa tingkat inklusi keuangan mencapai 67,8 persen, sedangkan literasi keuangan hanya 29,7 persen.
"Hal ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang menggunakan produk keuangan, tapi tanpa dibekali dengan pemahaman yang memadai. Masyarakat lebih tertarik mengetahui manfaat produk dibandingkan dengan risiko dan kewajiban dari sisi konsumennya," jelasnya.
Hasil survei OJK menyebutkan bahwa pemahaman konsumen terhadap risiko produk keuangan hanya sekitar 36 persen. "Tapi dengan hal ini, seharusnya jasa keuangan juga memberikan transparansi dan pemahaman ke masyarakat atas produk keuangan tersebut," tutur Tirta.
(bir)