Jakarta, CNN Indonesia -- Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (TKA) memantik polemik di tengah masyarakat.
Dari sisi pemerintah, terbitnya Perpres 20/2018 merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki iklim investasi. Pasalnya, Perpres 20/2018 menyederhanakan prosedur pengurusan perizinan TKA di Indonesia.
Seperti diungkap Kepala Badan Koordinasi Pasar Modal (
BKPM) Thomas Trikasih Lembong beberapa waktu lalu, pengurusan izin TKA yang melewati banyak pintu rawan dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan pungutan liar (pungli) dan pemerasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Investor itu, baik lokal maupun internasional, dianggap sasaran empuk, dianggap bawa duit. Izin TKA ini selalu dijadikan alasan untuk pungli dan pemerasan yang disamar-samar dengan sentimen anti asing," ujar Thomas saat menghadiri Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, pekan lalu.
Di sisi lain, beberapa pihak teriak karena takut karpet merah yang digelar Presiden Joko Widodo (
Jokowi) bakal membuat Indonesia dibanjiri oleh pekerja asing.
Jika melihat data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), jumlah TKA di Indonesia berdasarkan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang masih berlaku terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015, jumlah pekerja dengan IMTA yang masih berlaku mencapai 77,15 ribu orang. Selang setahun, jumlahnya meningkat menjadi 80,37 ribu orang dan tahun lalu menjadi 85,97 ribu orang.
Dari sisi posisi jabatan, sebagian besar TKA bekerja sebagai profesional di mana pada tahun lalu jumlahnya mencapai 23,87 ribu orang. Kemudian, posisi manager mengekor dengan 20,1 ribu orang, direksi 15,6 ribu orang, konsultan 12,8 ribu orang, teknisi 9,14 ribu orang, supervisor 2,3 ribu orang, dan komisaris 2,1 ribu orang.
Berdasarkan negara asal, mayoritas pekerja pada 2017 berasal dari China, di susul Jepang dan Korea Selatan.
 Negara Asal Tenaga Kerja Asing. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Jika dibandingkan dengan total tenaga kerja di Indonesia yang mencapai 121 juta orang, rasio TKA di Indonesia hanya sekitar 0,1 persen.
Sebagai pembanding, pada tahun 2017, jumlah TKA di Malaysia tercatat 1,8 juta dari total 15 juta angkatan kerja. Di tahun yang sama, jumlah TKA di Singapura mencapai 1,4 juta dari total 2,3 jta angkatan kerja.
Negara yang paling banyak memperkerjakan TKA adalah Amerika Serikat, di mana pada 2016 lalu jumlah TKA di Negeri Paman Sam mencapai 20,7 juta TKA dari 123,9 juta tenaga kerja.
 Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Berbagai Negara.(CNN Indonesia/Fajrian) |
Lantas, mengapa Indonesia perlu takut?
Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai polemik Perpres 20/2018 harus dilihat secara proporsional.
Seharusnya, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan di tengah masyarakat terkait terbitnya Perpres 20/2018. Kemudahan perizinan TKA diberikan untuk mengisi posisi jabatan atau pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dan tidak bisa dipasok oleh tenaga kerja lokal. Misalnya, untuk posisi diplomat, anggota Direksi dari pemegang saham, dan pekerja peralatan yang menggunakan teknologi canggih.
Menurut Faisal, jika tenaga kerja Indonesia dari sisi kompetensi dan keahlian mumpuni dan industri bisa menyerap seluruh tenaga kerja di Indonesia, isu TKA tidak akan menjadi besar.
Sayangnya, kondisi ideal itu tidak terjadi. Sebagian besar buruh di Indonesia kebanyakan berlatar belakang pendidikan tingkat sekolah menengah tanpa memiliki sertifikat keahlian khusus.
Jumlah tenaga kerja di Indonesia masih berlebih sehingga masih terdapat sekitar tujuh juta pengangguran yang tidak bisa diserap industri. Bahkan, beberapa warga Indonesia memilih untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara-negara yang defisit pekerja buruh seperti Arab Saudi, Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura.
Berdasarkan data BNP2TKI, sepanjang tahun lalu, jumlah TKI yang ditempatkan untuk bekerja di luar negeri mencapai 262,82 ribu jiwa, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 234,45 ribu jiwa.
Faisal juga menyorot masih terjadi di lapangan posisi pekerjaan yang bisa diisi oleh tenaga kerja lokal, seperti posisi manajemen tengah dan buruh kasar, diisi oleh TKA. Hal ini tentu memberikan sentimen negatif dari masyarakat.
"Beberapa kejadian di daerah, terjadi di mana tenaga kerja asing masuk sebagai buruh sehingga wajar jika masyarakat menjadi curiga," ujar Faisal kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (26/4).
Pernyataan Faisal terkonfirmasi oleh hasil investigasi Ombudsman yang menemukan sejumlah pelanggaran terkait TKA. Investigasi dilakukan pada Juni - Desember 2017 di sembilan provonsi di Indonesia,
Bentuk pelanggaran di antaranya TKA yang bekerja sebagai buruh kasar, TKA yang bekerja tanpa Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang berlaku, perusahaan pemberi kerja yang tidak bisa dipastikan keberadaannya, dan TKA yang telah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) tapi tidak memiliki izin kerja.
Disebutkan Komisioner Ombudsman Laode Ida, TKA yang bekerja sebagai buruh kasar salah satunya banyak ditemukan di Morowali, Sulawesi Tengah. Bahkan, sopir angkutan barang kebanyakan berasal dari luar negeri. Padahal, hal itu seharusnya tidak diizinkan.
"Sekitar 200 sopir angkutan barang di dalam perusahaan di sana (Morowali) itu adalah TKA," ujar Laode dalam konferensi pers di kantornya kemarin.
Karenananya, Ombudsman memberikan berbagai rekomendasi kepada pemerintah. Salah satunya, meningkatkan pengawasan yang dilakukan oleh Tim Pengawas Orang Asing (Tim Pora).
Sebelumnya, Tim Pora dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 50 Tahun 2016, Tim Pora beranggotakan instansi dan/atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi terkait dengan kegiatan orang asing baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, beberapa anggota Tim Pora di antaranya: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Koordinator Penanaman Modal dan Kementerian Keuangan.
Beberapa faktor yang menyebabkan belum maksimalnya pengawasan Tim Pora antara lain ketidaktegasan Tim Pora terhadap pelanggaran yang terjadi di lapangan, keterbatasan Sumber Daya Manusia pengawas, keterbatasan anggaran, dan lemahnya koordinasi antar instansi baik pusat maupun daerah.
Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Susilo Andi Dharma menambahkan permasalahan TKA di Indonesia sebenarnya berihwal dari aturan yang tidak dijalankan dengan konsisten.
Penggunaan TKA sudah diatur dalam pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di mana ditegaskan TKA untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dan yang terkait dengan alih teknologi.
Namun, lanjut Susilo, lebih dari 10 Peraturan Menteri yang mengatur TKA yang beberapa diantaranya bertentangan dengan semangat UU 13/2003 karena mengizinkan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus. Misalkan, pemandu karaoke diizinkan berasal dari orang asing. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015.
"Masak pendamping karaoke boleh menggunakan TKA," ujarnya.
Di satu sisi, Indonesia masih memerlukan lapangan kerja, namun pemerintah malah membuka pintu untuk TKA.
Susilo memahami masalah ketidakcocokan (
mismatch) tenaga kerja dengan kebutuhan industri di lapangan. Beberapa waktu lalu, lanjut Susilo, ada investor di selatan Jawa yang akhirnya mundur dari investasi karena kekurangan pasokan tenaga kerja lokal yang dibutuhkan.
Makanya, pemerintah perlu serius dalam menjalankan program vokasi demi memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja.
Perlu Komunikasi Intens Soal Rasionalisasi Kebijakan TKAPeneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Adji Al Farabi menilai Jokowi perlu meningkatkan komunikasi kepada masyarakat terkait rasionalisasi Perpres 20/2018 jika ingin menjaga tingkat elektabilitasnya menjelang Pilpres 2018.
Menurut Adji, isu tenaga kerja merupakan isu yang sensitif karena masih banyaknya pengangguran di Indonesia. Ditambah, masih ada sentimen anti asing yang berkembang di masyarakat.
"Di tengah persepsi lapangan kerja makin sulit. Pemerintah malah membuka keran TKA untuk masuk. Ini sikap yang dianggap kontraproduktif untuk membuka lapangan kerja," ujarnya.
Sementara, alasan kemudahan perizinan TKA dengan mendongkrak investasi terlalu di awang-awang bagi sebagian besar masyarakat.
"Yang dilihat publik bukan soal investasinya tetapi dibukanya keran lapangan kerja. Yang dilihat publik, peluang kerja dicaplok oleh tenaga kerja asing," ujarnya.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri di berbagai kesempatan telah menegaskan bahwa Perpres 20/2018 hanya memberikan kemudahan prosedur tanpa melonggarkan persyaratan.
"Kenapa prosedur (perizinan TKA) harus disederhanakan? Agar investasi meningkat dan lapangan kerja meningkat, agar daya saing kita (Indonesia) juga meningkat," ujar Hanif beberapa waktu lalu.
Dalam Perpres 20/2018, prosedur dan mekanisme perizinan TKA menjadi lebih cepat dan efisien. Seluruh proses perizinan langsung terpusat melalui satu pintu di Kemenaker, tanpa harus melalui kementerian atau lembaga yang terkait dengan bidang investasi investor. Kendati demikian, penyederhanaan perizinan tidak lantas menghilangkan persyaratan kualitatif.
Misalnya, perusahaan harus memberikan pelatihan Bahasa Indonesia kepada TKA. Selain itu, TKA yang masuk juga hanya boleh menduduki jabatan tertentu, harus membayar dana kompensasi, dan bekerja untuk periode tertentu.
Demi melindungi tenaga kerja Indonesia, pemerintah tetap melarang pekerja asing kasar (unskilled).
"Dari dulu sampai sekarang, tenaga kerja asing yang unskilled masih dilarang. Kalau di lapangan bertemu TKI yang bekerja kasar, itu masuknya pelanggaran," ujarnya.
(agi)