Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah analis meramalkan pemerintah akan lebih menahan penjualan lelang surat utang negara di tengah pelemahan nilai tukar
rupiah saat ini.
Analis Obligasi BNI Sekuritas Ariawan menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah ini disebabkan oleh faktor eksternal berupa rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS)Federal Reserve. Sementara, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga di level 4,25 persen.
Dengan kondisi seperti ini, investor yang mengikuti lelang Surat Berharga Negara (SBN) akan menawar tingkat imbal hasil (yield) di atas harga pasar karena
yield surat utang luar negeri juga sedang melonjak, khususnya obligasi AS bertenor 10 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau
yield yang diberikan di AS dan Indonesia hampir sama, maka tidak akan menarik bagi investor. Investor cenderung ke sana (obligasi AS)," ungkap Ariawan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/5).
Menurut Ariawan, sejumlah investor melakukan penawaran
yield hingga 7,95 persen. Padahal,
yield tertinggi bila dilihat sejak awal tahun ini hanya di kisaran 7,19 persen. '
Bila tawaran itu tetap diambil oleh pemerintah, maka akan menaikkan jumlah utang yang harus dibayar pemerintah atas SUN tersebut. Makanya, pemerintah memutuskan untuk tidak mengambil seluruh tawaran dari investor.
"Jadi mungkin melihat kondisi ini pemerintah akan mengkaji kembali target lelang, bisa saja target diturunkan," terang Ariawan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total penawaran lelang SUN hari ini hanya Rp7,18 triiun. Angka itu setara 42,24 persen dari target yang mencapai Rp17 triliun.
Ariawan melanjutkan, total SBN yang telah dikeluarkan saat ini sebenarnya telah mencapai sekitar 46 persen dari total target. Sewajarnya, pemerintah menjual obligasi dalam lima bulan ini hanya 40 persen dari target.
"Itu tinggi sekali kalau persentase sudah 46 persen," imbuh Ariawan.
Di sisi lain, Kepala Divisi Operasional Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Ifan Mohamad Ihsan berpendapat pergerakan rupiah akan menjadi perhatian investor asing yang berniat membeli obligasi. Masalahnya, bila rupiah terkoreksi maka akan merugikan investor asing dari sisi raihan keuntungan.
"Mereka (investor asing) akan terimbas penurunan keuntungan dari sisi currency sehingga hal ini kurang disukai oleh investor asing," ungkap Ifan.
Dengan begitu, investor asing akan menahan diri untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia. Dampaknya, harga obligasi pun tertekan karena mayoritas pemegang obligasi pemerintah masih berasal dari investor luar negeri.
"Dengan penurunan harga obligasi ini maka investor secara keseluruhan pun mencoba menahan diri untuk tidak masuk," jelas Ariawan.
Sebagai informasi, rupiah pada penutupan perdagangan hari ini terkoreksi 51 poin atau 0,36 persen menjadi Rp14.052 per dolar AS. Rupiah telah berada di area Rp14 ribu sejak penutupan perdagangan kemarin, Senin (7/5).
(lav)