Sinyal BI Kerek Suku Bunga Acuan Makin Kuat

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Jumat, 11 Mei 2018 21:03 WIB
Bank Indonesia (BI) semakin mempertegas sinyal terbukanya ruang bagi kenaikan suku bunga acuan guna mengantisipasi kestabilan ekonomi.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. (Courtesy bi.go.id)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) semakin mempertegas sinyal terbukanya ruang bagi kenaikan suku bunga acuan BI (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) guna mengantisipasi kestabilan ekonomi dan sistem keuangan Tanah Air di tengah gejolak kebijakan ekonomi global.

"BI memiliki ruang yang cukup besar untuk menyesuaikan suku bunga. Namun, itu akan kami bahas secara lengkap pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16-17 Mei mendatang," ujar Gubernur BI Agus D.W Martowardojo di Direktorat Jenderal Pajak Pusat, Jumat (11/5).

Menurut Agus, potensi kenaikan 7DRRR merupakan salah satu dari lima langkah yang bisa dilakukan bank sentral nasional dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan.

Namun, ia turut menegaskan bahwa langkah itu akan terus dihitung secara hati-hati dan terukur agar nantinya kebijakan yang diambil juga bersinergi dengan kebijakan dari pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami yakin akan bersinergi dengan otoritas lain, sehingga ke depan BI yakin Indonesia memiliki bauran kebijakan untuk menyikapi perkembangan dunia," katanya.

Bersamaan dengan langkah tersebut, BI turut menyiapkan empat langkah lain. Pertama, senantiasa berada di pasar untuk menjamin ketersediaan likuiditas rupiah dan valuta asing (valas). Kedua, BI akan terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik.

Ketiga, BI akan menyiapkan garis pertahanan kedua bersama bank sentral negara lain. Keempat, memaksimalkan koordinasi dengan pemerintah, OJK, dan LPS untuk menjaga inflasi dan neraca transaksi berjalan.

Ekonomi Global Jadi 'Biang Kerok'

Kendati begitu, Agus juga kembali menegaskan bahwa gejolak ekonomi domestik yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar atau kurs rupiah merupakan dampak dari perkembangan kebijakan dan kondisi ekonomi global, terutama dari Amerika Serikat (AS).

Mulai dari rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reserve yang akan mengerek suku bunganya hingga tiga kali. Bahkan, pasar memproyeksi bahwa kenaikannya bisa mencapai empat kali pada tahun ini.

Lalu, ada pula pengaruh dari kebijakan fiskal Presiden AS Donald Trump, memanasnya sengketa perdagangan antara AS dengan China, perkembangan konflik geopolitik antara AS dengan Korea Utara, hingga batalnya kesepakatan nuklir antara AS dengan Iran.

Namun, dari sisi ekonomi domestik, sejatinya Agus melihat bahwa fundamental ekonomi masih terjaga, ditandai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang masih sejalan dengan target BI dan pemerintah.

Dengan tekanan yang ada saat ini, kurs rupiah sebenarnya bukan mata uang yang melemah paling dalam. BI mencatat, pelemahan rupiah secara bulan berjalan (month-to-date/mtd) sebesar 1,2 persen dari 1-11 Mei 2018. Sedangkan secara tahun berjalan (year-to-date/ytd), pelemahan rupiah hanya sebesar 3,67 persen dari 1 Januari-11 Mei 2018.

"Kalau dibandingkan dengan negara lain, itu masih lebih baik karena negara lain lebih tertekan. Misalnya peso Filipina melemah 4,04 persen (ytd), rupee India 5,6 persen, real Brazil 7,9 persen, dan lira Turki 11,4 persen. Jadi secara ytd kami masih dalam keadaan tidak seberat kodnisi negara lain," pungkasnya.

Sebelumnya, dunia usaha, bankir, pasar modal, hingga ekonom memang seakan mendesak agar bank sentral nasional segera menyesuaian 7DRRR guna merespon kenaikan suku bunga The Fed. (lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER