Jakarta, CNN Indonesia --
Bank Indonesia (BI) baru saja mengeluarkan aturan yang melarang penerbit
uang elektronik berupa Lembaga Selain Bank (LBS) untuk melakukan aksi korporasi, seperti akuisisi, dalam kurun waktu lima tahun usai mengantongi izin penyelenggaraan uang elektronik.
Dengan aturan ini, artinya bank sentral tidak membenarkan adanya perubahan Pemegang Saham Pengendali (PSP) karena terjadinya akuisisi bisnis oleh perusahaan lain. Kecuali, bila perubahan tersebut memperoleh persetujuan BI dan dalam kondisi tertentu.
Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti mengatakan aturan ini bertujuan agar penerbit uang elektronik LBS bisa fokus mengembangkan bisnisnya lebih dulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi dalam waktu lima tahun setelah dapat izin, dia harus 'diam' dulu, fokus untuk pengembangan, jangan akusisi, mengubah kepemilikan, dan lainnya. Kalau mau akusisi, setelah lima tahun baru boleh. Kami ingin benar-benar izin yang diberikan ini benar-benar proper, serius, dan fokus," ujar Ida di Gedung BI, Senin (7/5).
Jika bisnis sudah berjalan selama lima tahun dan terbilang cakap, barulah BI bisa mempertimbangkan peluang penerbit uang elektronik LSB untuk melakukan aksi korporasi. Misalnya, untuk melakukan akuisisi dengan tujuan membuat bisnis lebih besar.
Di sisi lain, masih terkait kepemilikan perusahaan, BI juga mengatur soal kepemilikan saham tunggal dengan penunjukkan PSP. Nantinya, pemilik saham tidak boleh menjadi PSP pada dua perusahaan penyelenggara uang elektronik dengan bisnis serupa.
Misalnya, pemilik yang sudah menjadi PSP di PT A yang menerbitkan uang elekotronik tidak boleh menjadi PSP di penerbit PT B. Selain itu, pemilik juga tidak boleh menjadi PSP di PT A yang merupakan penerbit (
front end) sekaligus di PT B yang merupakan prinsipal (
back end).
Namun, bila pemilik mau memiliki dua perusahaan penyelenggara di
front end dan
back end, ia harus menjadi PSP hanya di salah satu perusahaan saja. Selain itu, pemilik boleh menjadi PSP di perusahaan penerbit PT A dan acquirer PT B, artinya sama-sama d
i front end tapi berbeda jenis perusahaannya.
Selain itu, BI juga mewajibkan agar komposisi kepemilikan saham bagi penerbit berupa lembaga non bank sedikitnya harus 51 persen dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia. Sedangkan sisanya 49 persen boleh dimiliki asing.
"Saat ini kami sudah petakan (mana saja yang sudah sesuai dengan ketentuan 51 persen), tapi kami tidak bisa sebut siapa-siapanya, kami sudah komunikasikan sebelum PBI ini keluar," katanya.
BI juga berhak melakukan penilaian kelayakan dan kepatutan
(fit and proper test) kepada pemegang saham pengendali (PSP) dengan porsi 25 persen atau lebih, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris perusahaan penyelenggara uang elektronik.
"
Fit and
proper test ini dapat pula dilakukan dalam hal rencana perubahan PSP, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta hasil pengawasan yang mengindikasikan pelanggaran atau fraud yang berdampak signifikan," pungkasnya.
(lav)