Jakarta, CNN Indonesia --
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengancam pertumbuhan
konsumsi pada tahun ini. Sebab, depresiasi rupiah membuat harga barang konsumsi impor semakin meningkat, dan melemahkan daya beli masyarakat.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan depresiasi rupiah berpotensi merusak perbaikan daya beli masyarakat golongan berpendapatan rendah.
Sebab, depresiasi ini disinyalir bisa membuat harga pangan meningkat. Harap maklum, sebagian bahan pangan masih impor. Jika kebutuhan primer golongan masyarakat berpendapatan rendah tidak baik, maka mereka juga tidak bisa melanjutkan konsumsi untuk kebutuhan sekunder.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, kebijakan anggaran tahun ini disusun demi perbaikan daya beli golongan tersebut, seperti dana bantuan sosial sebesar Rp41,29 triliun yang meningkat signifikan dari APBNP 2017 sebesar Rp17,31 triliun. Dengan begitu, masih terbuka kemungkinan bahwa pertumbuhan konsumsi di tiga kuartal berikutnya stagnan di bawah 5 persen atau sama seperti kuartal I kemarin yang hanya 4,95 persen.
"Kalau melihat faktor yang mendominasi konsumsi ini, saya rasa yang dominan ya kurs di situ. Tekanan yang meningkat ini membuat pertimbangan konsumen," jelasnya, Rabu (23/5).
Karenanya, salah satu antisipasi yang bisa dilakukan pemerintah agar pertumbuhan konsumsi cemerlang adalah meyakinkan golongan pendapatan menengah ke atas untuk menggelontorkan uangnya.
Hanya saja, fenomena saat ini adalah golongan tajir masih enggan membelanjakan uangnya.
"Jadi, memang tantangan utama di tahun ini adalah menstabilkan nilai tukar agar (konsumsi) lebih kredibel," imbuh dia.
Direktur Eksekutif Nielsen Company Indonesia Yongky Susilo mengatakan masyarakat berpendapatan tinggi harus lebih percaya diri agar mau meningkatkan konsumsi. Dengan itu, pertumbuhan konsumsi harusnya bisa membaik antar kuartalnya. Toh, mereka memiliki uang, hanya tak mau menggelontorkannya saja.
Apalagi sebetulnya, minat konsumsi orang kaya masih tinggi kendati rupiah melemah. Sehingga, pelaku usaha harus menarik konsumsi menengah atas dengan melakukan inovasi.
Peritel khususnya, harus memahami masyarakat tajir lebih menghargai nilai dari suatu barang dan jasa. Sehingga, konsep ritel ini juga harus berubah, dari sekadar tempat belanja menjadi tempat ke pengalaman (experience).
Ia mencontohkan salah satu bank yang bekerja sama dengan Agen Tunggal Pemilik Merk (ATPM) otomotif dalam menghelat penjualan mobil dengan harga menarik bagi nasabah prioritasnya. Hasilnya, acara yang dihelat di pusat perbelanjaan ini ramai dibanjiri orang kaya. Dalam tiga hari pelaksanaannya, 1.700 unit mobil ludes terjual.
"Makanya, termasuk ritel, ini harus agresif. Jangan pasif. Karena kalau golongan menengah ke atas ditawari produk yang berbeda saja, pasti laku. At the end (pada akhirnya), shopping ini belanja. Tapi belanja ini harus diubah menjadi lebih emosional. Nah, emosional ini artinya profit, jadi era perang harga sudah tidak zaman," terang dia.
Managing Director SOGO Indonesia Handaka Santosa berujar pelemahan nilai tukar rupiah tentu berdampak pada harga-harga barang yang dijual. Tentu saja, ada kekhawatiran bahwa masyarakat cenderung mengurangi konsumsinya. Apalagi, sebagian barang SOGO adalah barang impor.
Namun, peritel saat ini bisa mengantisipasinya dengan program-program yang dinikmati konsumen sejak awal tahun lalu.
Menurut dia, program-program promosi SOGO terbilang berhasil. Buktinya, penjualan SOGO tercatat naik 15 persen pada kuartal I 2018. Artinya, masyarakat kelas menengah atas masih mau konsumsi meski ada pelemahan rupiah.
"Setiap orang yang mempunyai kelas tertentu, ada rasa proud (bangga), minta dilayani. Nah, apakah kami bisa melayani atau tidak, itu saja kuncinya," katanya.
Menurut data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), kurs rupiah saat ini tercatat Rp14.192 per dolar AS. Artinya, rupiah sudah mengalami depresiasi sebesar 4,79 persen sejak awal tahun ini.
(bir)