Jakarta, CNN Indonesia -- Bekerja sesuai hasrat menjadi alasan utama
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo betah berlama-lama menggeluti sektor
keuangan negara.
Bidang ekonomi adalah hal yang telah ia gemari sejak dulu. Setelah menempuh pendidikan akuntansi, ia kemudian menyelami manajemen keuangan daerah kala menimba ilmu di Inggris.
Lambat laun, kecintaannya pada bidang desentralisasi fiskal membawa dirinya ke kursi pemerintahan setelah sebelumnya mengabdikan diri di dunia akademis. Didorong hasrat yang kuat, akhirnya ia dipercaya menjadi Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan berlanjut menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, bekerja sesuai minat bisa menimbulkan nilai-nilai positif bagi diri sendiri, utamanya integritas dan bekerja sesuai amanah. Hal itu, lanjut dia, sangat penting bagi sosok yang bergelut di bidang birokrasi keuangan.
Sebagai sosok yang pernah memegang kendali alokasi anggaran untuk daerah, ia mengaku kerap dirayu oleh berbagai pihak menggunakan bermacam-macam godaan. Begitu pun ketika ia menduduki kursi Ketua BPKP. Posisinya yang strategis pun tak luput dari berbagai macam godaan.
Namun, ia belajar bahwa integritas adalah faktor nomor wahid yang harus diamalkan oleh seluruh pemangku kebijakan. Mardiasmo bilang, seorang birokrat tak boleh menggadaikan integritas, melainkan harus bisa memutar otak agar bisa menghindari godaan itu dengan elok. Jika integritas hancur, maka reputasi yang dibangun bertahun-tahun lamanya juga ikut runtuh.
"Dulu saya pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, nah kala itu godaanya banyak. Dulu kan pertama kalinya Bupati dan Walikota mendapatkan alokasi anggaran. Namun, alhamdulilah saya bisa mengatasi dengan baik dan didukung dengan diplomasi yang bagus kepada Pemerintah Daerah," ungkap Mardiasmo saat diwawancarai CNNIndonesia.com, Selasa (5/6).
Sikap profesional tentu juga bisa meningkatkan kepercayaan dari orang lain. Berdasarkan pengalamannya, latar belakang profesionalnya sebagai akuntan menjadi daya tarik bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menugaskannya di bidang audit.
Hasilnya, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pertama kalinya di tahun 2016.
"Saya tahu mengenai audit. Audit tahu, sistem akuntansi tahu, standar juga saya setter-nya. Jadi saya bisa memberikan masukan ke Menteri bahwa untuk masalah audit sebaiknya ini dan itu, do's and don'ts seperti apa. Alhamdulilah, karena arahan Bu Menteri sangat baik, sehingga di-recognize oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan predikat WTP dari tahun 2016 dan 2017," paparnya.
Ia mengaku, butuh kerja keras untuk menjadi seorang birokrat. Namun, ia berpesan untuk terus memperkaya pengalaman kerja. Sebab, pengalaman adalah guru terbaik bagi diri sendiri.
"Selain pengalaman yang bagus, bekerja dengan hati, dan bekerja sesuai passion, insyallah hasilnya akan maksimal," kata dia.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo membacakan sumpah menjadi Anggota Dewan Komisioner OJK Ex-Officio dari Kementerian Keuangan di Sekretariat Mahkamah Agung, Jakarta. (Sigid Kurniawan). |
Berikut petikan wawancara CNNIndonesia.com dengan Mardiasmo:
Mungkin bisa diceritakan karier Bapak dari dulu hingga sekarang bisa menjadi Wakil Menteri Keuangan?Saya dulu dimulai dari membantu Menteri Keuangan Pak Boediono dan membantu mantan Menteri Keuangan Pak Bambang Sudibyo. Dari Pak Boediono saat itu saya bergabung di tim asistensi desentralisasi fiskal, karena dulu kan sedang masa desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Namun, dulu saya diajaknya oleh Bambang Sudibyo untuk menjadi tim asistensi desentralisasi fiskal. Dari sana saya bergelut dengan birokrasi.
Saya dulu diminta membuat roadmap Kementerian Keuangan. Waktu saya membuat itu, ada beberapa unit Eselon I yang diperbaiki dan ditambah, antara lain mengenai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Selain itu, dulu kan ada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, sekarang namanya Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko.
Dulu juga ada yang namanya Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, tapi kini sudah dipecah menjadi masing-masing Direktorat Jenderal. Kebetulan waktu itu ada reshuffle, Jusuf Anwar waktu itu diganti Sri Mulyani. Lalu saya laporkan ke Bu Sri Mulyani bahwa saya punya roadmap reorganisasi dan penguatan Badan Kebijakan Fiskal.
Waktu itu, Bu Sri mulyani setuju. Selain penguatan organisasinya, juga ada jabatannya makanya saya jadi Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Lalu saya empat tahun dengan beliau, hingga tahun 2010.
Saat Bu Sri Mulyani ke Bank Dunia, saya diminta ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sampai 2014. Saat dulu dengan Bu Menteri yang pertama kali kan saya sebagai Dirjen. Namun kini, saya bertemu lagi dengan Bu Sri Mulyani sebagai pendamping, Wakil Menteri Keuangan.
Apakah birokrasi adalah bidang yang ingin Bapak geluti sejak dulu?Ini perpaduan teori dan praktik. Kebetulan Strata III saya PhD kan dari Birmingham ini berkaitan dengan keuangan daerah. Itu persis sama dengan UU Otonomi Daerah. Jadi pas banget. Kebetulan saya saat itu belajar mengenai otonomi daerah dan waktu itu mengambil kasus di Indonesia, khususnya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Apa suka duka Bapak selama menjadi birokrat?Saya kan awalnya dari universitas, dulu saya dosen. Jadi saya teknokrat yang ke birokrat. Namun kan tentu butuh penyesuaian. Nah, agar bisa beradaptasi dari fungsional ke birokrat tentu harus beranjak dari staf ahli dulu atau staf khusus. Kalau dosen, itu kan jabatan yang fungsional.
Nilai-nilai apa yang Anda pelajari selama menjadi seorang birokrat?Nah, setelah jadi birokrat, tentu kita harus punya password. Memangku jabatan itu kan tergantung kita yang menjalankan, makanya itu harus didukung juga oleh leadership dan integritas. Apalagi saya dulu sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kala itu godaanya banyak. Dulu kan pertama kalinya Bupati dan Walikota mendapatkan alokasi anggaran. Namun, alhamdulilah saya bisa mengatasi dengan baik dan didukung dengan diplomasi yang bagus kepada Pemerintah Daerah.
Setelah itu kan saya ke BPKP. Menariknya, saya yang tadinya bagi-bagi alokasi anggaran untuk Pemda kini harus mengawasi Pemda dan Kementerian dan Lembaga. Jadi beda arah. Setelah empat tahun dan bisa dipercaya dengan baik dari BPKP saya dieprcaya jadi Wakil Menteri Keuangan.
Jadi artinya kalau bicara profesionalisme dan menjaga pengalaman yang bagus, ditambah dengan hati, dan bekerja sesuai passion, insyallah hasilnya akan maksimal. Dulu saya di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tetap bisa tegak terus, tidak pernah memberi dan tidak pernah diberi. Waktu di BPKP bisa dibayangkan godannya, ketika kita mengawasi dan investigasi. Sampai sekarang alhamdulilah masih bisa tegak. Menjadi Wakil Menteri juga insyallah amanah. Arahannya Bu Menteri ini adalah integritas ini priceless. Tidak bisa diberi harga berapapun juga.
Saya kini membantu Bu Menteri di bidang alokasi dan distribusi. Kan fungsi fiskal ada tiga, alokasi, stabilisasi, dan distribusi. Latar belakang saya adalah akuntansi dan juga saya Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dan saya Kepala BPKP jadi saya tahu mengenai audit. Audit tahu, sistem akuntansi tahu, standar juga saya setter-nya.
Salah satu hal yang perlu kita banggakan adalah value for money (nilai terhadap uang). Dan kebetulan saya pernah menulis buku itu pada 2002 ketika saya masih di Birmingham. Konsep ini sebetulnya perlu, karena kan di dalam pengelolaan anggaran ini ada konsep tiga E, yakni efektivitas, efisiensi, dan ekonomi. Sekarang ada tambahan dua E lagi, yakni equality dan equity. Maka pembangunan yang diciptakan kini harus seimbang dan berkualitas merata. Auditnya pun tentu harus bergerak ke value for money audit.
Selama berkarier sebagai birokrat, siapa sosok yang jadi teladan oleh Bapak?Saya dulu staf ahli di masa Pak Boediono. Saat saya jadi Dirjen, saya waktu itu ikut Sri Mulyani. Namun setelah itu juga ada Menteri Keuangan lain seperti Agus Martowardojo, Chatib Basri, Bambang Brodjonegoro. Itulah tokoh-tokoh saya, orang yang sangat profesional baik dari UI (Universitas Indonesia) dan UGM (Universitas Gajah Mada). Kini saya punya partner baru di Bank Indonesia, Pak Perry Warjiyo yang juga seangkatan dengan saya.
Di tengah kesibukan seperti ini apa masih ada waktu luang?Saya dengan keluarga ya menikmati hidup. Apalagi saya kan baru punya menantu, jadi di rumah tinggal berdua dengan istri. Sekarang berdua ya kalau menikmati hidup ya nonton film, makan-makan. Bahkan liburan ini rencananya saya mau menengok cucu ke Australia.
(lav/agi)