Jakarta, CNN Indonesia -- PT BFI Finance Tbk (BFIN) menolak pelaksanaan pembayaran
dividen dan dwangson (uang paksa) yang diajukan oleh PT Aryaputra Teguharta (APT). APT melalui kuasa hukumnya, Hutabarat Halim dan Rekan (HHR), meminta dividen dan uang paksa pada 4 Juni 2018.
Kuasa Hukum BFI Finance, Anthony L P Hutapea mengatakan APT tak lagi memiliki hak untuk mendapatkan dividen dari BFI karena bukan lagi menjadi pemegang
saham perusahaan.
"Saham APT ini kan telah dialihkan pada pihak ketiga melalui The Law Debenture Trust Corporation PLC sesuai perjanjian 7 Desember 2000 dan itu sudah disahkan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 19 Desember 2000," ujarnya, Jumat (8/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, kata Anthony, pemberian dividen juga tak bisa begitu saja dilakukan oleh perusahaan tanpa meminta izin pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
"Aturan Bursa Efek Indonesia (BEI) seperti itu, tapi kami menolak," imbuh Anthony.
Sementara, APT juga menuntut uang paksa sebesar Rp20 juta per hari jika BFI telat mengembalikan saham ke APT. Dalam hal ini, APT memberikan batas waktu hingga 7 Juni 2018 untuk membayar uang paksa tersebut.
"Tapi bagaimana, sahamnya juga sudah tidak ada di BFI Finance," tutur Anthony.
Berbagai upaya permintaan dividen dan pengembalian saham APT di BFI Finance pun tak sampai di sana, Anthony mengatakan manajemen APT sempat meminta BEI untuk menghentikan perdagangan saham sementara (suspend) BFI Finance.
"BEI merespons dan melihat persoalan ini sebagai masalah internal. Lagipula, kalau tiba-tiba menghentikan perdagangan saham akan merugikan investor," imbuh Anthony.
Secara terpisah, Direktur Keuangan BFI Finance Sudjono menjelaskan permasalahan perusahaan dengan APT timbul bermula pada proses restrukturisasi utang BFI terhadap kreditur melalui mekanisme Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta.
Utang BFI kepada beberapa kreditur tersebut dibayar melalui saham APT dan Ongko Multicorpora (OM) dengan perjanjian gadai saham. Kebetulan, kedua perusahaan ini merupakan anak usaha Ongko Group.
"APT dan OM menjaminkan sahamnya masing-masing kepada BFI untuk menjamin utang anak-anak perusahaan Ongko Group lainnya yang berjumlah 29 perusahaan," kata Sudjono.
Sebagai gantinya, utang 29 anak perusahaan Ongko Group kepada BFI Finance akan dianggap lunas. Melalui perjanjian gadai saham itu, BFI Finance berhasil merustrukturisasi utangnya dan disahkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
"BFI Finance ini mengalihkan saham APT dan OM kepada para kreditur BFI dengan The Law Debenture Trust Corporation (LDTC) sebagai perwakilan dari kreditur pada 9 Februari 2001," papar Sudjono.
Namun, tiga tahun setelah proses pengalihan saham itu selesai, APT dan OM justru menuntut pengembalian saham yang telah digadaikan.
"Jadi ini bukan permasalahan baru sebenarnya, operasional dan aksi korporasi kami tidak terganggu," pungkas Sudjono.
Kepada
CNNIndonesia.com, Asido M Panjaitan, Kuasa Hukum APT dari firma hukum HHR Lawyer menyebut akan menempuh jalur hukum untuk memastikan BFI Finance membayarkan hak-hak APT selaku pemegang saham.
"BFI Finance tidak mau bayar dividen itu karena mendapatkan angin segar dari salah satu direksi (Bursa Efek Indonesia) yang bilang tidak bisa dengan mudah suspensi saham BFI. Padahal, kami itikad baik mengingatkan BEI, ini ada kasus ini
loh, ini akan berakibat ke perlindungan investor," imbuhnya.
(bir)