Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan tidak akan mengubah jadwal serta target indikatif pembiayaan yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN), meski imbal hasil (yield) melambung sejak awal tahun.
Menurut data Indonesian Bond Pricing Agency (IBPA), Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun contohnya, kini sudah memiliki
yield mencapai 7,97 persen. Padahal, awal tahun kemarin,
yield SUN dengan tenor yang sama hanya berada di kisaran 5 persen.
Yield yang semakin tinggi menandakan harga SUN pemerintah semakin mahal. Melihat hal ini, Sri Mulyani bilang
yield bukan satu-satunya indikator dalam menentukan penerbitan SUN di sisa tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, pemerintah sudah menargetkan pembiayaan sesuai kebutuhan belanja yang tertera di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jadi, harusnya alokasi belanja pemerintah adalah faktor utama dalam penerbitan surat utang.
"Kami lakukan saja pengadaan surat negara ini sesuai dengan jadwal, seperti yang selalu kami jadwalkan. Karena di APBN 2018 kan sudah ditetapkan. Jadi ada indikasi berapa penerimaan negara, belanja negara, dan pembiayaannya," jelas Sri Mulyani di kantornya, Kamis (28/6).
Ia melanjutkan, perubahan target dan jadwal penarikan surat utang juga bisa memberi sentimen yang kurang baik bagi pelaku pasar. Di samping itu, perubahan target-target yang tertera di APBN tentu perlu pemikiran masak. Hal itu tak bisa dilakukan semena-mena.
Makanya, ia lebih memilih untuk melihat realisasi APBN guna mengetahui strategi penarikan utang ke depan. Sesuai rencana awal, SBN sebesar Rp436,44 triliun, atau 60 persen dari pembiayaan SBN bruto sebesar Rp727,4 triliun ditarik pada semester pertama. Sedangkan sisa 40 persen akan ditarik pada semester kedua.
"Ini kan masih bulan Juni, nanti kan Desember kan sudah ada berapa belanja negara. Jadi pembiayaan akan dilakukan, tidak kemudian berubah kalau yield-nya berubah," ujar dia.
Di dalam APBN 2018, pemerintah menargetkan penerimaan sebesar Rp1.894,72 miliar dan belanja sebesar Rp2.220,65 triliun. Dengan postur fiskal yang defisit Rp325,93 triliun, artinya belanja pemerintah memang masih perlu ditambal dengan pembiayaan.
Hingga Mei kemarin, total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp4.169,9 triliun atau tumbuh 13,55 persen dibanding tahun lalu. Dengan kata lain, kini rasio utang terhadap PDB sudah di angka 29,58 persen dari PDB.
(lav)