ANALISIS

Tekanan pada Rupiah Kian Berat

Agustiyanti & SAH | CNN Indonesia
Selasa, 24 Jul 2018 19:58 WIB
Nilai tukar rupiah kini sudah berada di posisi Rp14.545 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah bahkan bertambah seiring pelemahan yuan China.
Nilai tukar rupiah kini sudah berada di posisi Rp14.545 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah bahkan bertambah seiring pelemahan yuan China. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengaku mulai jengah. Hampir setiap hari dia 'diteror' wartawan terkait pelemahan rupiah.

Hari ini, rupiah kembali ditutup melemah di level Rp14.545 per dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp14.564 per dolar AS,terendah sejak 2016 lalu.

"Wartawan itu kerjaannya nanya terus (rupiah) melemah lagi. Ini memang belum berhenti prosesnya (gejolak rupiah). Masih berjalan," ujar Darmin di Jakarta, Selasa (24/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Darmin mengatakan pelemahan rupiah ini tak lain adalah akibat dari kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) yang bakal meningkatkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) sebanyak dua kali.


Kenaikan tingkat bunga ini menyebabkan aliran uang keluar dari Indonesia ke Amerika (capital outflow). Para investor pun ramai-ramai menukar rupiah kepada dolar AS sehingga nilainya berangsur mengalami penurunan.

"Saat banyak pihak ramai menukarkan uang ke dolar, rupiah melemah kursnya. Itu yang kami saksikan beberapa bulan terakhir ini," terang dia.

Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menyebut tekanan terhadap nilai tukar rupiah kini kian berat. Bukan hanya dipicu oleh penguatan dolar AS, pelemahan rupiah juha

"China saat ini sedang mencoba memenangkan perang dagang, salah satunya dengan melemahkan yuan. Pelemahan yuan ini menyeret mata uang lainnya yang memiliki hubungan dagang yang dekat, seperti Indonesia," ujar Lana kepada CNNIndonesia.com.

Gejolak pada nilai tukar rupiah, menurut dia, paling tidak akan terus berlanjut hingga September mendatang saat Bank Sentral AS, The Federal Reserve menaikkan bunga acuannya.
Ilustrasi dolar AS. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Adapun pada kemarin, rupiah memang sempat menguat lantaran adanya pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengaku tak suka dengan penguatan dolar AS. Alhasil, dolar AS melemah dan mendorong penguatan mata uang lainnya, termasuk pada rupiah.

"Saat ini rupiah trennya kembali melemah dan kemungkinan masih akan melemah," jelas dia.

Lana pun menilai rencana BI menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tak akan banyak membantu rupiah dari tekanan global. Ia justru menilai penerbitan SBI justru akan memecah fokus BI yang selama ini melakukan stabilisasi rupiah melalui instrumen Surat Berharga Negara (SBN).

BI pada pekan ini kembali menerbitkan SBI dengan jangka waktu sembilan dan 12 bulan yang sempat dihentikan penerbitannya pada 2016 lalu. Tujuannya, guna menarik minat investor asing menempatkan dana di Indonesia.


Ketimbang aktif menerbitkan SBI, menurut Lana, BI sebaiknya merevisi aturan terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE). Dengan demikian, diharapkan eksportir lebih lama menyimpan dolar AS di dalam negeri.

Di sisi lain, pemerintah kini juga tengah berupaya untuk menahan pelemahan rupiah. Salah satunya, dengan menekan impor yang belakangan melonjak dan menyebabkan neraca dagang defisit, kemudian berimbas pada rupiah.

Tak Selalu Buruk
Kendati begitu, Darmin menyebutkan, tak selamanya pelemahan rupiah terhadap dolar AS adalah hal buruk. Dampak positif dari pelemahan rupiah adalah harga barang ekspor dari Indonesia menjadi lebih murah.

Alhasil, barang-barang ekspor asal Indonesia menjadi semakin dilirik oleh pembeli dari negara lain. Atas hal itu, pemerintah, kata Darmin perlu menggenjot ekspor secara besar-besaran.

Kendati demikian, hingga Juni 2018, pertumbuhan ekspor tercatat tak cukup kinclong. Meski tumbuh 11,47 persen menjadi US$13 miliar, pertumbuhannya masih lebih rendah dari impor sebesar 12,5 persen. Namun, secara nominal impor Juni lebih rendah dari ekspor yakni sebesar US$11,26 miliar.


"Jeleknya apa? (pemelahan rupiah). Kalau kita, mengimpor harganya jadi mahal. Kalau anda katakan kalau gitu jangan impor, tidak bisa. Banyak sekali barang kita tidak hasilkan tapi kita perlu," ujarnya.

Meski begitu, pemerintah tetap bertekad menekan impor. Salah satunya dengan memperketat impor bahan baku dan barang modal.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyebut hanya tiga kriteria bahan baku dan barang modal yang masih dapat diimpor, yakni barang tidak tersedia di dalam negeri, barang ada tapi kuantitas tidak mencukupi, dan/atau barang ada tetapi tidak memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan.

Dari kebijakan tersebut, pemerintah menaksir dapat memangkas impor hingga mencapai US$20 miliar atau Rp290 triliun per tahun (asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS). (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER