Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden
Joko Widodo meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengkaji perpanjangan masa fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan dalam waktu dan besaran tertentu (tax holiday) sampai 50 tahun lamanya. Ini diharapkan betul-betul bisa menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2018,
tax holiday paling lama diberikan selama 20 tahun asal komitmen investasi yang ditawarkan investor paling sedikit Rp30 triliun. Namun, kini pengurangan PPh-nya mencapai 100 persen
"Presiden meminta saya untuk mengkaji apabila
tax holiday bisa diperpanjang sampai 50 tahun tapi
limited time (batas waktu), sehingga betul-betul bisa mengundang investor dan menanamkan modalnya di Indonesia," jelas Sri Mulyani di Istana Bogor, Kamis malam (26/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ke depan, Sri Mulyani akan melihat apakah masa
tax holiday ini terlalu lama atau tidak. Hal yang jelas, Jokowi mengharapkan investasi yang berhubungan dengan perbaikan struktur industri dan orientasi ekspor di Indonesia juga harus diperbaiki.
Selain periode
tax holiday, Sri Mulyani juga mengatakan pemerintah tengah mengkaji pemberian fasilitas
tax holiday bagi nilai investasi di bawah Rp100 miliar bagi perusahaan substitusi impor skala kecil dan padat karya. Ini demi meningkatkan daya saing produk dalam negeri dan mengurangi produk yang selama ini diimpor lantaran harganya lebih kompetitif.
"Sehingga itu (tax holiday di bawah Rp100 miliar) bisa menampung kebutuhan perusahaan kelas menengah kecil utamanya substitusi dari impor. Jadi kami akan menyempurnakan dan memperbaiki sesuai komunikasi kami dengan dunia usaha, untuk meyakinkan bahwa
policy ini menghasilkan dampak yang positif," pungkasnya.
Sebelumnya, Jokowi menganggap investasi substitusi impor dan orientasi ekspor adalah jalan keluar bagi Indonesia untuk keluar dari jeratan defisit neraca perdagangan. Maka itu, ia meminta kepala daerah harus bisa menyelesaikan izin-izin investasi itu sesegera mungkin.
Tak dipungkiri, Indonesia sedang membutuhkan neraca perdagangan yang surplus sehingga bisa membantu perbaikan defisit transaksi berjalan. Pada akhirnya, Indonesia tidak rentan akan dampak gejolak ekonomi global saat ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia sepanjang semester I 2018 tercatat US$88,02 miliar atau naik 10,03 persen dari tahun sebelumnya US$80 miliar. Hanya saja, Indonesia mengalami tekanan dari sisi impor, di mana nilai impor dalam enam bulan pertama 2018 tercatat US$89,04 miliar atau naik 23,1 persen dari tahun sebelumnya US$72,33 miliar.
Hasilnya, Indonesia harus mengalami defisit neraca perdagangan US$1,02 miliar pada periode tersebut.
"(Neraca dagang) adalah masalah besar yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Masalahnya adalah investasi, makanya saya titip gubernur, bupati, dan wali kota mengenai investasi orientasi ekspor dan substitusi impor, sudah lah jangan ada pembicaraan lagi. Jangan tutup mata, suruh mereka bangun," jelas Jokowi, kemarin.
(lav)