ANALISIS

Nasib Rupiah Diterpa Sentimen Berbagai Penjuru

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 14 Agu 2018 18:58 WIB
Nilai tukar rupiah kembali porak-poranda di tengah ketidakpastian ekonomi sejak awal tahun ini, baik dari dalam maupun luar negeri.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah kembali porak-poranda di tengah ketidakpastian ekonomi sejak awal tahun ini. Rupiah kini dihargai Rp14.600 per dolar AS dari sebelumnya Rp13.400 per dolar AS pada Januari 2018.

Tak seperti sebelumnya ketika rupiah anjlok karena sentimen rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS The Federal Reserve, kali ini pelemahan rupiah dipicu dampak tak langsung dari lunglainya lira, mata uang Turki akibat gejolak ekonomi.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo melihat pelemahan lira memberi dampak ke rupiah karena memicu penguatan indeks dolar AS. Hal itu kemudian menyeret mayoritas mata uang negara berkembang ke zona merah, termasuk Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami melihat pengaruh pelemahan lira Turki yang utama dibalik pelemahan mata uang negara berkembang. Tapi bagi rupiah, pelemahan yang terjadi diharapkan hanya sentimen temporer karena ekonomi domestik masih kuat," ucap Dody kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/8).


Lira melemah akibat kencangnya lilitan utang asing ke pemerintahan dan sektor swasta, sehingga memicu krisis keuangan di negara itu. Saat ini, kurs lira mencapai 6,88 per dolar AS, atau sudah terdepresiasi sekitar 79 persen dari awal tahun ini di kisaran 3,79 per dolar AS.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam menilai rupiah memang melemah karena terbawa sentimen Turki yang berhasil menguatkan dolar AS dan memberi arus kekhawatiran di pasar uang dan saham.

Sebenarnya pelemahan rupiah tak akan lebih buruk dari sesama negara berkembang bila kondisi domestik Indonesia baik-baik saja. Namun hal itu berbeda dari harapan karena 'modal' fundamental ekonomi Indonesia tak cukup besar menahan pelemahan rupiah.

Tengok saja defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang kian melebar. Data BI mencatat CAD kuartal II 2018 sebesar US$8 miliar atau menembus ambang batas 3,0 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski, secara semester I 2018, CAD masih di kisaran 2,6 persen dari PDB.


"Ini sinyal negatif, jadi bukan sepenuhnya karena Turki, itu bisa sementara dan efeknya tidak sebesar itu kalau CAD tidak selebar itu," ujarnya.

Lebih lanjut, CAD yang semakin melebar membuat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II 2018 defisit hingga US$4,3 miliar. Hal itu sontak membuat pasar bereaksi negatif karena yakin bahwa Indonesia benar-benar kekurangan pasokan dolar AS.

"Ini membuat yang punya dolar AS semakin tidak mau melepasnya dan yang spekulan, terus mencari dolar AS," imbuhnya.

Untuk itu, menurutnya, pemerintah dan BI sudah harus benar-benar bergerak mengatasi CAD ini. Hal ini tak bisa hanya dibenahi melalui imbauan, melainkan kebijakan tegas.

"Ini sudah tidak bisa hanya mengimbau, tapi pemerintah harus 'paksa' dan gunakan kewenangannya. Jadi pasar melihat ada kepastian dari pemerintah," katanya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta para eksportir membawa masuk hasil devisa ekspornya.
Defisit Transaksi BerjalanMata uang lira Turki. (REUTERS/Murad Sezer)

Terkait devisa hasil ekspor, Piter bilang, pemerintah bisa memulai langkah konkret itu pada perusahaan-perusahaan yang bergantung pada kewenangan pemerintah, misalnya perusahaan sektor pertambangan.

Melalui ketentuan masa konsesi, pemerintah bisa 'memaksa' perusahaan memasukkan devisa hasil ekspor. Setelah itu, pemerintah juga perlu menentukan waktu devisa harus ditahan di dalam negeri, dan mekanisme penarikannya.

Dengan demikian, pengusaha memperoleh jaminan agar 'rela' memarkirkan devisa hasil ekspornya di dalam negeri.

Cara lain ialah dari jalur pengurangan impor minyak dan gas (migas), yakni melalui peningkatan campuran minyak nabati sebesar 20 persen pada bahan bakar minyak (BBM) atau yang dikenal dengan Biodiesel (B20).

"Ini belum ada ketegasan, harusnya langsung saja, misalnya harus mulai diterapkan pada waktu ini, jadwal sosialisasi begini, kesiapan industri harus begini, jadi ada kepastian" terangnya.

Tak ketinggalan, pengurangan impor untuk proyek infrastruktur dan alat pertahanan juga dilakukan.

"Toh kebutuhannya masih berjangka panjang, sehingga tidak akan menimbulkan kekacauan bila ditahan saat ini," sebutnya.

Belum lagi, nilai impor kedua komponen itu cukup besar, sehingga harus segera dibatasi agar efektif menekan impor.

Oleh karenanya, pemerintah harus rela menahan impor untuk bahan pendukung infrastruktur dan alat pertahanan. Sebab, menurut Piter, lebih baik proyek infrastruktur tidak terkejar semua saat ini, namun CAD dan rupiah bisa membaik.

"Setidaknya ini cara-cara jangka pendek yang bisa segera memulihkan CAD, agar sampai akhir tahun tidak semakin melebar," tuturnya.

Selain pemerintah, Bank Indonesia juga masih perlu berkontribusi, misalnya dengan tetap menggelontorkan cadangan devisa dan melakukan intervensi nilai tukar agar pergerakan rupiah tidak terlalu liar.

Meski posisi cadev saat ini sudah berada di kisaran US$118,9 miliar, namun angka ini dianggap masih cukup aman untuk BI tetap mengguyur pasar keuangan.

"Karena kalau tidak dilakukan, saya yakin itu kemarin rupiah bisa sampai tembur Rp15 ribu per dolar AS. Tapi karena intervensi jadi tidak seliar itu," ungkapnya.


Suku Bunga Belum Perlu Naik

Meski begitu, Piter melihat BI belum perlu mengerek bunga acuan pada bulan ini. Baginya, kenaikan bunga acuan akan lebih baik hanya bertepatan pada kenaikan bunga The Fed pada September nanti.

Sebab, bila BI mengerek bunga acuan bulan ini, efek yang dirasakan diperkirakan tetap sama saja, karena hal itu bukan instrumen utama pengendalian nilai tukar rupiah.

Terlebih, jika BI mengerek bunga acuan bulan ini saat inflasi masih terjaga, maka akan membuat pelaku pasar berpandangan BI tak lagi rasional.

"Jadi lebih baik tetap pada jalur kebijakan yang rasional, tegas, dan terukur saja. Tidak perlu panik hanya demi menenangkan pasar," tekannya.

Senada, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menilai pelemahan lira Turki sejatinya tidak memberi dampak besar kepada Indonesia. Artinya, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini, memang juga karena pengaruh faktor domestik, khususnya CAD yang sedang melebar.

"Kalau alasan ini digunakan, itu jadi masuk akal. Jadi dibandingkan negara lain sesama negara berkembang, rupiah melemah juga karena CAD sedang melebar," ungkapnya.

Meski, risiko gejolak ekonomi negara berkembang sejatinya sudah dilihat Anton akan turut memberi sentimen kepada pergerakan pasar uang.


Ia menyebut, beberapa negara memang sudah masuk radar bahwa ekonominya akan bergejolak di tengah tekanan ketidakpastian kondisi global saat ini. Misalnya, Turki, Argentina, hingga Venezuela.

"Sebenarnya beberapa negara sudah rentan, tinggal tunggu waktu saja. Tapi mungkin Turki ini dianggap lebih dekat sehingga mempengaruhi psikologis pasar uang dan saham, lalu memberi pengaruh ke mata uang," ujarnya.

Bicara tekanan eksternal, faktor terbesar yang perlu diwaspadai rupiah masih berasal dari rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan The Fed dan perang dagang AS-China.

Intinya, pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan dengan segera. "Tapi juga jangan implementasi tanpa menjelaskan dan sosialisasi dulu ke publik. Harus dijelaskan dengan rinci agar pasar, investor, dan masyarakat mengerti dan percaya," pungkasnya. (lav/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER