Jakarta, CNN Indonesia -- Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (
APBN) 2018 kembali bengkak pada akhir Juli 2018 dibandingkan bulan sebelumnya. Defisit tercatat mencapai Rp151,3 triliun atau setara 1,02 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari bulan sebelumnya yang hanya sekitar 0,75 persen dari PDB.
Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit melebar karena belanja negara lebih besar ketimbang penerimaan negara. Meski begitu, ia mengklaim defisit ini tetap lebih baik dari periode yang sama pada 2016 dan 2017. Tercatat, masing-masing defisit pada tahun itu sebesar 1,82 persen dan 1,55 persen dari PDB.
"Defisit anggaran ini masih lebih kecil dari dua tahun belakangan, defisit bahkan penurunannya terkontraksi sekitar 28 persen dari tahun-tahun sebelumnya," ujar Ani, sapaan akrabnya di kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Selasa (14/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara keseimbangan primer yang sebelumnya surplus, kini mencatatkan defisit Rp4,9 triliun. Meski begitu, Ani bilang defisit ini masih cukup rendah dari proyeksi awal pemerintah mencapai Rp87,3 triliun pada akhir tahun.
"Ini memang bulan pertama mengalami defisit di tahun ini, tapi ini masih lebih kecil dari tahun sebelumnya. Kami harap kami masih bisa menjaga ini sampai akhir tahun," imbuhnya.
Lebih rinci, defisit terjadi karena belanja negara mencapai Rp1.145,7 triliun atau 51,6 persen dari target APBN sebesar Rp2.220,7 triliun. Realisasi belanja tumbuh 7,7 persen secara tahunan (
year-on-year/yoy).
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakanbelanja itu berasal dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp697 triliun atau 47,9 persen dari target Rp1.454,5 triliun dan tumbuh 15,3 persen (yoy). Belanja pemerintah pusat terbagi atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp375,9 triliun dan belanja non-K/L Rp321,1 triliun.
Berdasarkan jenisnya, belanja K/L terbesar untuk belanja barang mencapai Rp132,9 triliun. Diikuti belanja pegawai sebesar Rp132,7 triliun, belanja modal Rp54,1 triliun, dan belanja bantuan sosial Rp56,2 triliun.
Berdasarkan realisasi per kementerian, belanja terbesar dilakukan Kementerian Pertahanan mencapai Rp49,46 triliun. Lalu mengekor, Kepolisian Republik Indonesia (PolrI) Rp45,37 triliun, Kementerian Kesehatan Rp38,93 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rp37,54 triliun, dan lainnya.
"Secara keseluruhan, realisasi belanja meningkat karena kami melakukannya lebih cepat agar lebih efektif," kata Askolani.
Sementara belanja non-K/L terbesar berasal dari pembayaran bunga utang yang mencapai Rp146,4 triliun. Diikuti pembayaran subsidi energi dan nonenergi mencapai Rp91,3 triliun dan belanja lain-lain Rp1,9 triliun.
"Peningkatan pembayaran bunga utang terjadi karena pelemahan rupiah saat ini. Sedangkan peningkatan subsidi karena kami melunasi kewajiban pembayaran sampai Juli lalu," terangnya.
Lalu, belanja juga berasal dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang mencapai Rp448,6 triliun atau 58,6 persen dari target Rp766,2 triliun. Kendati realisasi TKDD sudah cukup besar, namun pertumbuhannya justru terkontraksi minus 2,3 persen dibandingkan tahun lalu. TKDD berasal dari transfer ke daerah sebesar Rp412,8 triliun dan dana desa Rp35,9 triliun.
Direktur Jenderal Perimbangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan realisasi TKDD justru terkontraksi karena menurunnya penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. Hal ini karena pemerintah menerpakan mekanisme baru pada penyaluran DAK Fisik dari semula sebesar 30 persen pada tahap satu, kini menjadi 25 persen dari kontrak yang digarap.
"Meski begitu, tapi jumlah kontrak yang sudah dibuat cukup baik, sudah mencapai 93 persen, jadi tinggal penyalurannya saja. Mudah-mudahan bisa lebih cepat," jelasnya.
Sedangkan dari pos penerimaan negara, penerimaan berasal dari pos pajak termasuk Pajak Penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) sebesar Rp687,2 triliun atau 48,3 persen dari target Rp1.424 triliun dan tumbuh 14,4 persen (yoy).
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan sumbangan penerimaan pajak tertinggi berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri Rp150,99 triliun. Namun, pertumbuhannya justru terkontraksi dari 11,94 persen menjadi 8,1 persen. Hal ini karena penerimaan PPh tahun lalu masih terkena imbas dari kebijakan program pengampunan pajak
(tax amnesty), sedangkan tahun ini tidak lagi.
Hanya saja, situasi pelemahan nilai tukar rupiah membuat pertumbuhan PPh 22 impor paling melejit dibandingkan semua pos pajak. Tercatat, PPh 22 impor tumbuh 28,32 persen dengan nominal mencapai Rp32,01 triliun. Sedangkan pos pajak lainnya, yaitu PPh 21 sebesar Rp81,63 triliun, PPh orang pribadi Rp7,34 triliun, PPh badan Rp137,89 triliun, PPh 26 Rp31,61 triliun, PPh final Rp62,6 triliun, PPN impor Rp101,89 triliun.
Berdasarkan sektor industri, penerimaan pajak tertinggi berasal dari industri pengolahan mencapai Rp194,36 triliun dengan kontribusi ke penerimaan mencapai 29,9 persen. Namun, dari sisi pertumbuhan, yang tertinggi justru berasal dari industri pertambangan mencapai 78,08 persen dengan nominal sebesar Rp42,28 triliun. "Ini karena ada peningkatan harga komoditas tambang," ujar Robert.
Sisanya, berasal dari industri perdagangan Rp131,7 triliun, jasa keuangan Rp88,17 triliun, konstruksi dan real estate Rp40,78 triliun, dan pertanian Rp12,51 triliun.
Lalu, penerimaan juga berasal dari bea masuk dan cukai sebesar Rp92,9 triliun atau 47,9 persen dari target Rp194,1 triliun dan tumbuh 16,4 persen. Sumbangan ini berasal dari cukai sebesar Rp67,55 triliun, bea masuk Rp21,42 triliun, dan bea keluar Rp3,91 triliun.
Dari sisi pertumbuhan, pos bea keluar melejit hingga 130,41 persen. Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu Heru Pambudi bilang, hal ini karena meningkatnya aktivitas ekspor impor dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Selain itu juga karena perdagangan global mulai pulih ditandai dengan membaiknya harga komoditas di pasar dunia dan perbaikan kebijakan kepabeanan dan cukai, seperti penertiban impor berisiko dan pemberantasan cukai ilegal," tuturnya.
Selanjutnya, untuk menutup kebutuhan belanja negara yang lebih besar daripada penerimaan, maka pembiayaan utang juga meningkat dari bulan sebelumnya. Pembiayaan utang menjadi Rp206,6 triliun atau 63,4 persen dari target Rp325,9 triliun.
Meski begitu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan jumlah pembiayaan utang ini masih lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebab, pembiayaan utang per Juli 2016 mencapai Rp285,9 triliun dan pada Juli 2017 senilai Rp298,8 triliun. "Selain itu rasio utang pemerintah per akhir Juli 2018 sebesar 29,7 persen dari PDB, ini masih di bawah batas ketentuan. Kami juga menggunakan utang dengan terukur, efektif, dan efisien," pungkasnya.
(lav)