Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom
Faisal Basri memprediksi Bank Indonesia (BI) tetap menaikkan suku
bunga acuan setidaknya 50 basis poin pada sisa tahun ini. Hal ini dilakukan demi menstabilkan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Prediksi itu tanpa memperhitungkan rencana kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) pada September dan Desember mendatang.
"Untuk stabilkan rupiah saja masih butuh 50 basis poin lagi, apalagi kalau The Fed benar menaikkan. Tapi saya tetap konservatif saja 50 basis poin kan BI sudah menaikkan 125 basis poin juga," ujarnya, Selasa (21/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, rupiah pada pekan lalu sempat bertengger di level sekitar Rp14.600 per dolar AS akibat gejolak ekonomi Turki dan pelemahan mata uang negara tersebut.
Beruntung, kini rupiah mulai stabil dan bergerak di level sekitar Rp14.500 per dolar AS. Pada penutupan sore ini, rupiah menguat tipis 0,1 persen ke level Rp14.574 per dolar AS.
Sementara, bila BI benar-benar kembali menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin, maka suku bunga acuan BI pada akhir tahun akan berada di angka enam persen.
Faisal mengatakan BI tak memiliki pilihan lain karena jika tidak menaikkan suku bunga acuan, nantinya cadangan devisa (cadev) Indonesia akan tergerus dan semakin tidak sehat.
"Psikologi untuk cadev itu di US$100 miliar, sekarang saja sudah mendekati US$100 miliar itu kan," terang dia.
Merujuk data BI, cadev Indonesia per Juli 2018 turun US$1,5 miliar menjadi US$118,3 miliar dibandingkan dengan posisi Juni 2018 yang masih sebesar US$119,8 miliar.
Proyeksi kenaikan suku bunga acuan BI ini dinilai akan membebani pelaku usaha untuk berutang dan melakukan ekspansi dalam rangka mengembangkan perusahaannya.
"Pasti (terbebani). Itulah ongkos dari terlalu agresifnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiga tahun terakhir," ucap Faisal.
Namun, ia menyebut pelaku usaha sudah paham dengan kondisi seperti ini yang mengerem utang agar beban bunga nantinya tidak membengkak. Bahkan, sebagian pelaku usaha disebut-sebut mempercepat pembayaran utangnya.
"Swasta itu lebih hati-hati, utangnya stagnan. Kalau pemerintah kan terus tinggi. Beda sama krisis dulu swasta ugal-ugalan dan pemerintah yang stagnan," jelas Faisal.
Berdasarkan data Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, pembiayaan utang pemerintah tahun depan menurun menjadi Rp359,3 triliun dibandingkan dengan APBN 2018 sebesar Rp387,4 triliun.
Penurunan pembiayaan utang ini seiring dengan prediksi turunnya defisit APBN 2019 menjadi Rp297,2 triliun atau 1,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan tahun ini pemerintah memasang proyeksi defisit sebesar 2,12 persen terhadap PDB.
(bir)